Bagaimana kalau dimulai dengan cerita tentang teman SMA saya. Mulai saat ini disebut si A. Ia memang terkenal berkelakuan aneh. Saya sudah terbiasa dengan tabiat minusnya itu. Tapi yang ini benar - benar menguras logika. Saya dan A sering bermain permainan yang berbasis jaringan di daerah Pejaten Barat, Teamworkz. Seusai pulang sekolah kami menunggu angkot S11 yang melewati depan sekolah untuk menuju sana. Hari itu hari Minggu, saya bertemu dia di Teamworkz. Ia memakai seragam sekolah. Saya kaget.
"Emang sekolah ada acara apa? Kok lo pake batik 28? Gw ga dikasih tau kalo ada acara. Gw bolos dong itungannya?"
"Engga ada acara apa - apa kok fik. Ini biar bayar angkotnya murah"
Saya tidak berniat melanjutkan dialog. Cuma bisa ketawa. Â Ini yang bego siapa? Temen saya atau supirnya?
Di hari lain, saya dan dia berangkat bareng ke Teamworkz. Dengan angkot S11 tentu. Hari itu saya tidak membawa uang kecil. Cuma ada limapuluh ribuan di dompet. Saya meminta A untuk mengongkosi saya. Dia setuju. Ketika sampai di tujuan, kami turun.
"A bayarin yak!"
"Iya udah santai aja fik. Bang. Yang belakang yang bayar"
Angkot itu langsung melesat, meninggalkan saya yang bengong. Padahal di angkot tadi sudah tidak ada siapa - siapa lagi. ini yang bego siapa? Teman saya atau supirnya?
Kejadian ini-yang-bego-teman-saya -atau-supirnya terjadi tiga kali. Yah setidaknya hanya tiga kali yang saya tahu. Kejadian yang kedua, lagi - lagi saya dan A berangkat bareng menuju Teamworkz. Dan lagi - lagi, tidak tersisa lagi uang kecil di kantong karena habis untuk dikonversi dengan mie ayam. Serta lagi - lagi saya memninta A untuk mengongkosi saya. Tidak, dialog yang di atas tidak terulang kok. Tapi, yang kali ini lebih ekstrim. Karena penumpangnya kali itu penuh. Turunlah kami di depan Teamworkz.
"Bang yang bayar yang pake topi biru"
"Yoo"