Mu'tazilah muncul pada abad ke-8 sebagai aliran teologi dalam Islam yang menyoroti pemikiran rasional serta meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih antara tindakan baik dan buruk. Mereka terkenal dengan pandangan mereka tentang keadilan ilahi dan penolakan takdir mutlak. Kaum Mu'tazilah dikenal sebagai kelompok yang mengutamakan akal sehingga mereka dijuluki sebagai "kaum rasionalis Islam." Mereka memperkenalkan perdebatan teologi yang lebih kompleks dan berorientasi filosofis, berbeda dengan isu-isu yang diangkat oleh kelompok Khawarij dan Murji'ah.
Nama ini awalnya diberikan oleh pihak luar Mu’tazilah karena pendiriannya, Washil bin Atha', yang tidak sependapat dan berpisah dari gurunya, Hasan Al-Bashri. Seiring berjalannya waktu, nama ini kemudian disetujui oleh pengikut Mu’tazilah dan diadopsi sebagai identitas aliran teologi mereka.
Aliran Mu'tazilah dimulai oleh Washil bin Atha' Al-Makhzumi, seorang intelektual Muslim pada abad ke-8 di Irak, diakui sebagai pendiri awal aliran tersebut.
Washil bin Atha’ memulai perjalanan belajarnya dalam agama Islam di Madinah. Saat ia menjadi dewasa, pengaruh Islam di bawah pemerintahan Khalifah al-Walid I mulai meluas hingga mencakup wilayah Andalusia.
Awalnya, Washil bin Atha' adalah disiplin dari ulama terkemuka, Hasan Al-Bashri. Namun, Washil bin Atha' kemudian mengembangkan pandangan teologisnya sendiri, yang bertentangan dengan pendapat gurunya.
Golongan Mu'tazilah memiliki beberapa ajaran yang di anut, yaitu:
1. At TauhidÂ
Prinsip utama dalam ajaran Mu‟tazilah adalah At-Tauhid atau ke-Esaan, yang mengacu pada pengesaan Tuhan. Meskipun doktrin ini dianut oleh berbagai mazhab teologis dalam Islam, Mu‟tazilah memberikan arti spesifik pada tauhid, menganggapnya sebagai upaya menyucikan Tuhan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi makna kemahaesaannya. Dalam konteks ini, Mu‟tazilah menolak konsep Tuhan yang memiliki sifat-sifat.
2. Al 'Adl
Mu‟tazilah mengajarkan konsep kedua, yaitu Al-‘Adl atau keadilan Tuhan, sebagai sifat yang paling jelas menunjukkan kesempurnaan-Nya. Mereka meyakini bahwa Tuhan yang sempurna adalah Tuhan yang adil, dan pemahaman ini bertujuan untuk mengakui keadilan Tuhan dari perspektif manusia. Keadilan Tuhan diukur melalui tindakan-Nya yang hanya mengikuti yang baik dan terbaik, serta tidak melanggar janji-Nya.
3.Al-Wa’du Wal-Wa’id
Prinsip Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan ancaman) dalam ajaran ini menyatakan bahwa Allah berkewajiban memenuhi janji-Nya kepada mereka yang berbuat baik, sehingga mereka dapat masuk surga, dan juga untuk menjalankan ancaman-Nya terhadap pelaku dosa besar, bahkan yang terlibat dalam syirik, sehingga mereka akan masuk neraka dan kekal di dalamnya, dan Allah tidak dapat melanggar janji atau ancaman tersebut.
4.Al-Manzilah bain al Manzilatain
Mu’tazilah mengartikan Al-Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi) sebagai tempat di antara surga dan neraka. Hal ini berkaitan dengan pandangan mereka bahwa pelaku dosa besar, disebut Fasiq, tidak dapat disebut sebagai mukmin atau kafir; mereka tidak layak dihukum sebagai mukmin atau kafir. Begitu juga bagi munafiq, karena sebenarnya munafiq dapat dihukumkan sebagai kafir jika nifaqnya diketahui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H