Setelah hampir 2 jam, kami memasuki Purwakarta, dan lansekapnya pun mulai berubah: rumah-rumah penduduk khas kelas menengah kebawah, hutan dan lembah, lalu jurang yang terlihat kala kereta menanjak di bukit-bukit, pertanda kami mulai masuk ke wilayah Bandung.
Dari jendela kereta kelihatan, corak ekonomi masyarakat disini tampak kontras dengan Jakarta dan kesana-sananya. Di pinggir rel, terlihat kebun dan sawah luas yang tengah di bajak, khas pedesaan. Tak terlihat rumah kumuh yang dibangun dari seng bekas beralas kardus, seperti pemandangan diawal tadi.
Mungkin, ini mungkin yah, selama bertahun-tahun, paradigma pembangunan ibu kota hanya berpihak pada kelas sosial tertentu saja, yang ujungnya tak mempengaruhi kelas pada umumnya.
Entahlah. Yang pasti terdapat kelas sosial yang pada akhirnya terpinggirkan di sisi kota dan rel kereta. Suatu hal yang tak terlihat dalam corak masyarakat daerah di Purwakarta dan kesini-sininya.
Apakah mereka gagal dalam kompetisi dan kreasi ekonomi seperti yang dipersyaratkan dalam sistem ekonomi liberal? Atau ketidakberuntungan saja karena berada pada kelas sosial yang tidak memiliki akses pada kebijakan-kebijakan?
YNTKTS! jangan sampai ada yang jawab begitu saat kita bertanya. Maka kita perlu pakar Adam Smith dan Marx untuk nimbrung disini.
Tapi itu jangan terlalu dipikirkan. Soalnya jelang Magrib, kami telah tiba di Kota Bandung kota kembang. Katanya, banyak hal-hal menarik disini, baik siang ataupun malam. Di Braga dan sekitarnya.
Apa perlu diceritaken?
*Zulfiqar RG., Back-koper dari ketinggian Rongkong Tana Masakke.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI