Mohon tunggu...
Zulfiqar Rapang
Zulfiqar Rapang Mohon Tunggu... Administrasi - Mengabadi dalam literasi

Pemuda ketinggian Rongkong, Tana Masakke. Mahasiswa Ilmu Politik di Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Dari Gambir ke Bandung, dari Griya Tawang hingga Pedesaan

8 November 2022   17:07 Diperbarui: 10 November 2022   23:44 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.aa.com.tr/id/

PADA sisi luar jendela kereta, terlihat gedung-gedung tinggi dan griya tawang menjulang, rumah-rumah mewah, lalu corong-corong pabrik dan rumah-rumah kumuh, terpampang silih berganti. Dari jendela yang sama, kita bisa menyaksikan kelas sosial masyarakat ibukota, dan sepertinya, tricke down-nya Adam Smith tak menjangkau semua warga.

Itu dari Jakarta sampai Bekasi. 

Dan ini kali pertama saya menumpang kereta api.

Siang itu, Sebelum tiba di Gambir, impresi awal saya adalah stasiun itu sinonim dengan pengap, semrawut, dan penuh orang berdesak-desakan. Seperti yang kita lihat pada musim mudik medio 2000an. Namun saat tiba disana, kesan itu terjungkal 180 derajat.

Di stasiun, pelayanan dan penampakannya tak jauh beda dengan bandar udara. Nuansanya biru bercampur layer putih di sana-sini. Kursi tunggu ditata rapi sedemikian rupa, dengan calon penumpang antri teratur dan dilayani di beberapa loket tiket oleh mbak-mbak yang cantik jelita---setidaknya terlihat pada bagian atas maskernya.

Suara pembaca pengumuman juga terdengar seksi nan sopan, seperti permisi untuk masuk melewati gendang telinga. Yang ini khusus si mbak-mbaknya, kalau yang si masnya, cukup terdengar sopan saja.

Untuk menuju peron yang berada di lantai 3, kita bisa menggunakan beberapa eskalator yang tersedia. Layar digital informasi menggelantung dipelbagai sisi. Petugas kebersihan juga tak berhenti lalu lalang mengepel lantai yang baru saja kami lewati.
Begitu pula soal impresi saya tentang kereta yang sesak dan panas, dengan orang yang tiduran diantara lorong-lorong kursi, dan ratusan lainnya menumpang di atapnya. 

Rupanya itu mungkin hanya terjadi di masa-masa silam. Setidaknya tidak pada kereta pada kereta yang kami tumpangi ke Bandung, Argo Parahyangan. Di dalam gerbong yang kami tempati, empat kursi diletakkan berjajar dan bersusun hingga sepuluh deret kebelakang, dengan lorong cukup bidang ditengahnya. 

Model kursinya hampir mirip dengan salah satu bus yang sering saya tumpangi dari Masamba ke Makassar. Lebar dan empuk, dilengkapi meja kecil yang bisa ditarik dari dalam senderan tangan. Kaki juga dapat berselenjor dengan cukup nyaman.

Tak ada sama sekali kesan seperti yang bayangkan tadi. Hanya bising mesin kereta yang sayup-sayup dari luar menembus dinding.

Setelah hampir 2 jam, kami memasuki Purwakarta, dan lansekapnya pun mulai berubah: rumah-rumah penduduk khas kelas menengah kebawah, hutan dan lembah, lalu jurang yang terlihat kala kereta menanjak di bukit-bukit, pertanda kami mulai masuk ke wilayah Bandung.

Dari jendela kereta kelihatan, corak ekonomi masyarakat disini tampak kontras dengan Jakarta dan kesana-sananya. Di pinggir rel, terlihat kebun dan sawah luas yang tengah di bajak, khas pedesaan. Tak terlihat rumah kumuh yang dibangun dari seng bekas beralas kardus, seperti pemandangan diawal tadi.

Mungkin, ini mungkin yah, selama bertahun-tahun, paradigma pembangunan ibu kota hanya berpihak pada kelas sosial tertentu saja, yang ujungnya tak mempengaruhi kelas pada umumnya.

Entahlah. Yang pasti terdapat kelas sosial yang pada akhirnya terpinggirkan di sisi kota dan rel kereta. Suatu hal yang tak terlihat dalam corak masyarakat daerah di Purwakarta dan kesini-sininya.

Apakah mereka gagal dalam kompetisi dan kreasi ekonomi seperti yang dipersyaratkan dalam sistem ekonomi liberal? Atau ketidakberuntungan saja karena berada pada kelas sosial yang tidak memiliki akses pada kebijakan-kebijakan?

YNTKTS! jangan sampai ada yang jawab begitu saat kita bertanya. Maka kita perlu pakar Adam Smith dan Marx untuk nimbrung disini.

Tapi itu jangan terlalu dipikirkan. Soalnya jelang Magrib, kami telah tiba di Kota Bandung kota kembang. Katanya, banyak hal-hal menarik disini, baik siang ataupun malam. Di Braga dan sekitarnya.

Apa perlu diceritaken?

*Zulfiqar RG., Back-koper dari ketinggian Rongkong Tana Masakke.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun