Saya masih ingat. Wajah pegawai syara' di kampung itu berubah menjadi sumringah mendengar penjelasan Kepala Dinas dan Kepala Kemenag.Â
Beberapa menit lalu ia mengeluh, honor yang ia terima lebih kecil ketimbang jumlah yang di informasikan sebelumnya.
Warga lain bergantian memegang mic. Seraya menepuk nyamuk yang mengerubuti, saya menyimak dari balik rimbun daun kakao. Ba'da isya itu sedang turun hujan. Air hujan setinggi mata kaki menggenangi pekarangan rumah milik kepala desa.
Saya sesekali melongok. Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani duduk dibawah tenda. Tidak sendiri. tak cukup dua meter di depannya, ada ratusan warga; sepuh, anak muda dan ibu-ibu yang membopong anaknya.Â
Hampir semua kepala dinas dan beberapa pimpinan lembaga pemerintah turut serta.
Saat mereka bertanya, Indah Putri Indriani terlebih dahulu dengan sigap menjawab dan memberi penjelasan secara umum. Lalu disusul penjelasan Kepala Dinas dan Lembaga Pemerintah yang mengurusi secara teknis.
Melalui ruang semacam ini, keluhan dan masukan warga---yang kadang kala luput dari perhatian media massa, dari yang makro hingga mikro dapat terserap langsung oleh Bupati sebagai pemegang komando kebijakan. Ruang publik hasil inovasi Indah Putri Indriani yang disebut "semalam di desa".
Pada rumah-rumah merekalah tempat beredarnya kepentingan (aspirasi) hakiki warga, yang spontan, yang jujur, yang bebas dari intervensi. Inilah yang ingin diungkap dan ditangkap.Â
Melalui program Semalam di Desa, aspirasi dengan cermat dikumpul-kembangkan, lalu dirumuskan dalam bentuk kebijakan.
Semalam di desa bisa dibilang inovasi tingkat lanjut (advanced) dari apa yang disebut blusukan yang kerap dilakoni pejabat pemerintah di Jawa sana. Disana, ruang yang memungkinkan warga dan pemerintah bertukar informasi secara setara tanpa saling mendominasi.
Dalam keyakinan saya, Indah Putri Indriani memahami betul apa yang yang dikatakan Filsuf perempuan asal Jerman, Hannah Arendt (1958), bahwa ruang publik adalah ruang kebebasan politik dan kesamaan.Â
Ia tercipta apabila warga negara bertindak bersama dalam koordinasi melalui wicara dan persuasi.
Pada sisi tersebut, hal ini adalah upaya penyusunan pondasi budaya politik yang ditujukan mengembalikan khittah politik sebagai political (kemanusiaan), bukan sekadar politics (kekuasaan).Â
Dan ini tidak dapat diringkus dalam tagline 2 atau 3 kali lebih baik, sebab keberhasilan membangun budaya politik melampaui itu semua.
Hujan semakin deras. Sanggara' (pisang goreng) di nampan besar itu juga mulai mendingin. Saya berjalan ke meja disudut, tempat termos jumbo kopi terhidang.
Tutupnya basah karena percikan air hujan. Namun kopinya masih tetap panas. Di bawah tenda ini, percakapan warga dan bupati juga semakin menghangat.[]
[Penulis adalah Zulfiqar Rapang, anak muda ketinggian Rongkong Tana Masakke, Luwu Utara]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI