TAK seperti sekarang. Sudah ramai. Saat itu, posko yang terletak di komplek Merdeka Palopo tersebut hanya didatangi tak lebih dari hitungan jari. Masih sepi. Saya bersama kembaran namaku, Zulfikar Wisnu, berdiskusi kecil pada kamar paling sudut di lantai dua. Dan, dari sanalah muncul dua frasa itu; Â "baku bantuki" dan "anak dekker".
Yah, dua slogan itu kini melekat erat dengan Bang Basir, begitu calon Wali Kota itu sering kami sapa; di media massa, pun media sosial. Frasa "baku bantuki" dan "anak dekker"---tentu disertai tagar, kini seperti kata piatu tanpa disertai namanya; Basiruddin.
***
NYATANYA, bukan hanya saya yang berpikiran sama, yang tak membayangkan sosok tambun ini melesat seperti sekarang. Dulu, di tahun 2013, saya sering bertemu Bang Basir di Daeng Sija, warung kopi tempat bertembungnya semua kalangan di Jensud Palopo. Â Penampilannya sederhana. Tuturnya juga tak seperti tokoh-tokoh muda Luwu yang kebetulan sedang mudik dari Jakarta
Kami bercengkrama selayaknya teman. Makan siangnya pun di warteg perempatan Ahmad Dahlan. Dengan gaya seperti itu, saya sama sekali tak membayangkan Basir adalah wakil sekjen Oesman Sapta di Partai Persatuan Daerah. Bukan kabupaten atau kota, Basir ketika itu adalah wasekjen partai tersebut di tingkat pusat, tahun 2004.
Di Daeng Sija, saya sering berdiskusi. Lebih tepatnya, menyimak setiap bulir-bulir kata dari Basir. Saya yang berstatus mahasiswa saat itu, bersemangat mendengar cerita-cerita reformasi 1998 darinya. Ia berkisah tentang hiruk pikuk  ibu kota, yang mungkin tak tercatat di dalam buku-buku catatan aktivis alumni 98.
Fasih memang. Dan, baru beberapa bulan lalu saya mengetahui alasannya. Basiruddin di tahun tahun itu, diamanahkan kawan-kawannya sebagai presiden mahasiswa Universitas Bunda Mulia Jakarta. Selang dua tahun kemudian, ia juga terpilih sebagai presidium mahasiswa Jakarta.
Pun, baru beberapa lalu saya tahu, Â dari 1998 hingga 2007, sederet posisi strategis di ibu kota ia jabati, posisi-posisi yang tak akan mudah digapai oleh perantau Sulawesi ditengah kerasnya Jakarta. "Pemain Ibu Kota memang," begitu seorang kawan yang sempat mengecap Jakarta, kala mengomentari gebrakan Bang Basir beberapa waktu terakhir.
Kawan itu bercerita, dirinya bahkan terheran-heran melihat kedekatan Basir dan ketua DPD RI sekarang, Oesma Sapta Odang (OSO). Zulfikar Wisnu, yang tiap hari mendampingi Basiruddin di Jakarta mengamini. Bang Basir sudah selayaknya anak dihadapan OSO. Dengan semua keluarganya ia lengket. Terlebih Raja Sapta Oktohari, anak kedua OSO. Hampir tiap pekan, Basir bertandang di kediaman pribadi OSO.
Pulangnya Basir di tahun 2013, bagi saya, seperti noktah hitam diatas lembarang panjang kertas putih. Menilik perjalanan hidupnya di Jakarta, melihat apa yang telah ia capai, sungguh terlalu sayang ditinggal. Apalagi jika "hanya" untuk bertarung di KNPI Palopo. Tapi, hanya Basir yang tahu tujuannya pulang kampung saat itu. Saya kira, itu semua markah Yang Kuasa atas jalan hidup dirinya.
"Ke Jakarta aku kan kembali..", senandung Koes Plus itu kira-kira terngiang selalu dalam benak Basir. Kira-kira saja yah. Karena selang setahun kemudian, ia betul-betul kembali ibu kota. Rupanya, jejaring yang sempat ia tinggal, masih terangkai dengan baik.Â
Ia kembali menjadi pengurus teras di beberapa organisasi; FORKI, ISSI, KNPI, HIPMI, dan yang paling mengejutkan banyak pihak, Bang Basir menjadi Wakil Bendahara PAN tingkat nasional. Coba saja lihat perjalanan hidupnya di link ini.
Jalan itu jualah yang mengantarnya pulang kampung kembali, yang tentu tak tak sama dengan kepulangannya yang pertama. Ia kini membawa bekal; membawa mimpi dan cita-cita besar; untuk kampung halamannya. Atas panngilan dan dukungan dari keluarga dan kawan-kawannya, Basir pulang,menjadi calon Wali Kota Palopo.
Diluar sana, masih banyak yang memandang Basir sebelah mata. Mereka mungkin hanya mengingat cerita-cerita kelam dirinya di medio 90-an, saat Palopo masih identik dengan rusuh dan perkelahian.Â
Mereka mungkin sinis melihat Basir, karena penampilannya yang sangat biasa di warung-warung kopi, atau lorong-lorong Palopo, 2013 silam. Mereka mungkin melihat Basir sebagai orang Malangke yang miskin dan tak berpunya.
Semalam, saya mengirim seutas tautan berita lokal kepada dia, berita yang narasumbernya berkomentar satir. "Saya tidak akan berpikir negatif ke mereka. Saya memang bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa." ujar dia dalam balasannya whatsapp-nya.
"Tapi yakin saja, kita bisa dan kita mampu menjadi apa yang kita mau'. Â
Tulisan ini belum selesai. Karena, kisah Bang Basir juga belum usai. Â Â
 **Zulfiqar Rapang; anak muda Rongkong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H