Mohon tunggu...
Zulfiqar Rapang
Zulfiqar Rapang Mohon Tunggu... Administrasi - Mengabadi dalam literasi

Pemuda ketinggian Rongkong, Tana Masakke. Mahasiswa Ilmu Politik di Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Cak Wan: dari Penggembala, Hingga Politisi Muda Lutra

17 November 2016   13:36 Diperbarui: 17 November 2016   22:07 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dok. Pribadi

BOCAH itu meraih dan menarik tali tambang yang diliputi lumpur. Di ujung tali, seekor kerbau beranjak dengan terpaksa dari kubangannya. Cakrawala memang telah memerah, yang menjadi tanda bagi dia untuk membawa pulang gembalaannya. Seperti sudah mafhum, seekor kerbau lain yang berada di semak-semak menghampiri bocah itu.

Hari minggu itu, bocah sembilan tahunan tersebut menggembala cukup jauh dari rumahnya di Kappuna. Pagi tadi, dua ekor kerbau itu ia tuntun dengan kaki kecilnya, lima kilometer menuju persawahan bekas panen milik penduduk di Baloli. Di setengah siang, ia memanggul segepok buah Kuppa’, jambu air yang ia petik dijalan tadi, untuk dijajakan di SD 259 Welona.

Kehidupan yang memaksanya banting tulang. Orang tuanya memang bukan orang berada seperti kawan-kawannya kebanyakan, Selain menggembala dan menjual Kuppa’, dan tentu bersekolah, hari-harinya dihabiskan di sawah dan ladang yang digarap bapaknya.

Di depan bandara Masamba, ia tertegun. Kuku hitamnya memelintir lima keeping recehan rupiah dari hasil melego buah tadi. Sebuah pesawat perintis yang bersiap lepas landas menarik perhatian bola matanya. Pesawat kecil itu pun terbang berkelebat meninggi menuju langit.

Pesawat itu semakin merabung, membumbung, setinggi cita-cita besar bocah bernama Riswan Bibbi itu.

***

27 tahun kemudian, dipertengahan November 2016, Riswan Bibbi terpilih secara aklamasi menjadi ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luwu Utara, suatu jabatan yang menurut saya, pasti tak pernah telintas dalam pikirannya kala menggembala dulu. Dari titik ini, Riswan menyadari, cita-cita untuk mengejawantahkan kehidupan bangsa yang lebih baik lewat jalur politik, baru saja di bopongkan ke pundaknya. “Tugas yang berat”, ujar dia.

Yang saya amati, terpilihnya Riswan memang tak mengejutkan banyak orang. Pengabdian panjangnya untuk partai nasionalis religious itu menjadi alasan. Lima tahun lalu, jabatan ketua bahkan telah “ditawarkan” kepadanya. Hanya saja, Riswan kala itu menyadari kemampuannya belumlah cukup. Apalagi, dia merupakan seseorang yang menjunjung tinggi nilai kesenioritasan dalam pergaulan. “Pak Edi Sudarto sebagai orang yang lebih senior dalam partai sangatlah pantas untuk menduduki kursi ketua selama dua periode, “ ujarnya.

Bukan hanya partai, penghargaan terhadap senior memang sejak lama menjadi kredo dalam hidupnya. Jika dirunut, seperti yang diungkapkan beberapa karib Riswan, enam dan empat tahun lalu kala pertarungan KNPI Kabupaten Luwu Utara, Riswan sesungguhnya dapat menduduki kursi ketua. Hanya saja, saat itu ia menyadari betul bahwa ada dua seniornya yang merupakan tokoh masa depan Lutra, yang lebih tepat dan sangat pantas untuk didahulukan.

Kepada junior pun, Riswan juga membuka ruang; aktualisasi diri dan kemandirian berpikir. Hal itu ia lakukan agar juniornya terhindar dari kejumudan fikir. Jejak-jejak ini masih masih tersisa di Pemilar, organisasi yang dia bersama kawan-kawannya bangunkan dari tidur panjang 4 tahunan, satu dasawarsa lalu.

Pemilar, memang salah satu titik penting dalam proses pencarian jati diri yang memberi bentuk dalam kehidupannya kini. Banyak hal yang ia beri-terima di organisasi itu. Bersama kawan-kawannya, Riswan membangun ulang Pemilar yang mati suri. Banyak tantangan disana.

Semisal minimnya keiklasan dari para senior di Luwu Utara kala itu, menjadi warna gelap dalam awal-awal perjuangan Riswan dkk. Memang secara kesejarahan, sejumlah senior dekatnya bukanlah alumni Pemilar. Belum lagi kefakiran atas rasa kepemilikan para mahasiwa Luwu Utara terhadap organisasi itu.

Namun itu bukanlah dalil untuk berhenti meniupkan kembali ruh terhadap Pemilar, sebagai tempat bersilaturrahmi, sebagai wadah untuk menumpah dan menghimpun gagasan. Riswan sadar betul, bahwa dikemudian hari, Pemilar akan memegang peranan penting yang bermuara kebaikan daerahnya, bagi bangsanya

Dan, gelora yang mengiringi Riswan itulah yang mengantar dirinya terpilih menjadi ketua Pemilar, saat itu. Ia kemudian merentang dan membangun pondasi untuk Pemilar, baik pemikiran ataupun jaringan. Sejarah mencatat, di masa kepemimpinannya-lah, rancangan pembangunan Aspuri di Toddopuli dimulai, atau Aspura di Bung. Dan sekertariat Pemilar di Makassar.

Di almamaternya Universitas Hasanuddin, Riswan juga menggayung ilmu. Biaya kuliahnya ia tabung dari hasil mengolah dua petak sawah dan hasil menjaja sayur kangkung—yang ia petik di bekas kubangan kerbaunya, semasa SMA di Masamba. Meski menjadi mahasiswa yang tak berkecukupan—bahkan dengan lauk gami jarru’yang dilahap di asrama Masamba, Riswan dapat menyelesaikan kuliahnya di Prodig Fakultas Ekonomi Unhas, 2001

Selepas kuliah, latar belakang keluarganya yang islam kultural menuntun dirinya tergabung ke ormas Islam terbesar, Nahdatul Ulama. Bahkan beberapa tahun lalu, dirinya dikukuhkan sebagai ketua ikatan sarjana NU Luwu Utara. Disana pulalah ia mengenal PKB yang mengantar dirinya menjadi ketuanya kini. Kawan-kawannya kadang berseloroh, jika di NU pusat ada Cak Imin, adapula Cak Nun, makanya di Luwu Utara ada Cak Wan alias Cak Riswan.

Seorang kawannya menuturkan, sejak kuliah Riswan memang menonjol diantara sekian karibnya. Meski kemampuan retorika-nya diatas rata-rata—yang biasanya menjadi modal penting demi menggaet kaum wanita, Riswan ternyata tak pernah terlihat bersama perempuan. “Maqam pengetahuannya tentang kaum hawa secara teoritik lebih dari cukup, hanya saja ia tak pernah terlibat affair dengan perempuan manapun.”

Riswan, sesuai istilah kekinian,memang masih men-jomblo.Hanya Tuhan yang tahu kapan kejombloannya berkemunca. Bahkan, Kapolres Luwu Utara AKBP Muh. Endro bercanda dan mengkategorisasi Riswan bersama sejumlah pejabat dan aktivis lain yang belum berkeluarga dengan sebutan Dekolgen.

Hal yang satu ini menjadi soal. Bagi seorang Riswan yang memenuhi  kemapanan berpikir dan ekonomi, masih kekurangan pendamping hidup. Saya juga nanar, apakah Riswan melakukan penantian, ataukah pancarian. Semoga yang terakhir saja.

Tentu persoalan yang satu itu berbanding terbalik dengan perjuangan dan jejaknya dalam hal lain.Misalnya saja saat dirinya memutuskan maju sebagai caleg di Luwu Utara. Meski tak terpilih, perolehan suaranya sunggulah memuaskan. Apalagi 900 suara itu merupakan suara murni tanpa politik uang seperti yang dilakukan politikus kebanyakan. Di dapil ibu kota pula.

Kepada saya, dia sering berkata, pada prinsipnya tidak semua perjuangan berbuah keberhasilan, tapi bagian dari sunnatullah, sehingga hidup memang perlu untuk diperjuangkan.

Sekali waktu ia berungkali berpesan, anak-anak muda mesti berani mengisi dan mengambil peranan dalam ruang-ruang sosial untuk perjuangan kebangsaan. Kondisi bangsa yang sengkarut semrawut yang malah merayakan kemerdekaan dengan korupsi dan kejahilan lainnya, adalah tugas anak muda bangsa untuk memperbaikinya.

Salah satunya dengan cara masuk ruang politik praktis. Riswan berdalil, terlalu banyak oknum-oknum politisi yang diberi kepercayaan oleh masyarakat malah berlomba berkhianat terhadap bangsa, terhadap warga. Anak muda, sebagai pondasi dan cerminan masa depan eksistensi negeri, harus siap diri dan mesti merebut ruang-ruang dimana kebijakan untuk bangsa dibanjar, ruang-ruang dimana aturan dilahirkan.

Jangan lupa nikah, Cak Wan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun