Mohon tunggu...
Zulfiqar Rapang
Zulfiqar Rapang Mohon Tunggu... Administrasi - Mengabadi dalam literasi

Pemuda ketinggian Rongkong, Tana Masakke. Mahasiswa Ilmu Politik di Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Selalu Kami untuk Mereka yang Terbuang?

17 Oktober 2016   21:37 Diperbarui: 17 Oktober 2016   21:54 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RESES anggota dewan berlangsung cukup bernas hari itu, saat saya bertandang ke kantor camat Malangke, Luwu Utara. Warga mengungkap tilikan atas sejumlah hal kepada anggota DPRD dan perwakilan beberapa SKPD. Salah satunya, menyoal tentang kinerja para penyuluh pertanian yang dianggap tak maksimal.

Saya yang duduk di koridor samping tak melihat rupa sang penanggap, saat ia menyelah ucapan si warga, "Siapapun penyuluh yang tak kerja maksimal di Malangke, kita akan tempatkan di Limbong-Seko-Rampi, " kata pria itu.

Ada yang garib, aneh.

Acapkali, kala pilkada atau momen politik, aparatus sipil diteror dengan ancaman mutasi ke daerah terpencil. Dan di Kabupaten Luwu Utara, tiga daerah terpencil itu yakni Limbong, Seko dan Rampi. Di Palopo mungkin sama dengan daerah Battang, atau Bastem dan Latimojong di Kabupaten Luwu.

Ketiga dataran tinggi itu, barangkali semacam "tempat sampah". Aparatus sipil, meski tak semua, atau lebih elok sebut saja oknum aparatus, yang tak becus di daerah penugasannya, di sanksi dengan cara "dibuang" ke tiga daerah terpencil tadi. Biasanaya, begitu pula mereka yang bukan pendukung yang terpilih, kala Pilkada.

Bagi saya yang aneh, adalah bukan soal PNS yang mengikat janji dengan bersedia ditempatkan dimana saja saat dilantik. Ataukah bahwa kita mesti mafhum, mutasi semacam ini adalah biasa sebagai bias pilkada.

Bukan itu.

Namun, ini tentang kinerja mereka--oknum-oknum itu, yang malah semakin terjun bebas. Mereka yang memang tak becus pada penugasan sebelumnya, semakin menjadi-jadi di daerah mereka "dibuang"--akses transportasi yang kurang baik, hunian yang kurang layak, ditambah dengan suasana yang berbeda 160 derajat, mungkin begitu mereka berkilah, mencari pembenaran.

Ini juga tentang siswa-siswa yang jatah pendidikan yang mereka dapat, sama sekali tak bisa disejajarkan dengan mereka yang di kota. Mana bisa, jika gurunya saja lebih malas, yang cuma hadir di kantor hari senin, lalu libur hari Selasa hingga hari senin selanjutnya, dua minggu kemudian.

Pun, ini tentang dirugikannya masyarakat setempat. Petani-petani mana bisa meningkatkan produktivitas lahan dan laba jika penyuluhnya tak hadir berminggu-minggu. Atau pustu-pustu yang kosong melompong--dan mungkin telah berganti penghuni, yang dulunya perawat atau dokter, sekarang lelembut, dedhemit, atau sebangsa jin lainnya.

Pengawasan terhadap mereka, seperti tidak berjalan, sehingga seenaknya tak berkantor dan lalai atas kewajiban. Karena bidan di pustu sudah berminggu-minggu tak tampak bulu hidungnya, akibatnya, sebagai contoh, jikalau ada Ibu-ibu kebelet brojol, terpaksa dibantu bidan impor dari puskesmas di Ibu Kota Kecamatan,

Jika demikian, pantas saja mereka yang di kota menganggap diri lebih pintar dan hidup modern dan yang dari kampung dilabeli kampungan dan di anggap tak tersentuh peradaban.

Hal ini tentu berefek negatif. Dalam konteks pendidikan umpamanya, sekolah bergengsi di kota, dibanding mereka yang berasal dari desa, mereka lebih memilih menerima alumni dari kota pula. Secara konsepsi, ini termasuk dari ketidak-terpenuhannnya pemerataan-pasif, sebuah istilah yang dicetuskan Coleman, yang menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah-sekolah pilihan.

Padahal, undang-undang secara eksplisit mengamanatkan asas pemerataan (equality) dalam kehidupan sosial. Termasuk dalam hal yang disebut tadi. Dalam konteks itu pula, di haramkan adanya dikotomi daerah terpencil dan daerah kota.

Aspek pemerataan mesti menjadi perhatian, dalam distribusi guru misalnya, pendidik korban politik yang di tugaskan di daerah terpencil--fasilitas pendidikan mereka yang sejak awal sudah kurang, lalu ditambal lagi dengan kualitas pendidik semacam itu, tentu semakin memperparah keadaan. Berikan mereka guru yang kompentensinya lebih bagus.

Begitu pula tenaga kesehatan, belum lagi problem pada bidang pertanian dan jamak hal lainnya.

Padahal, keterpenuhan pendidikan dan kesehatan dalam kehidupan sosial menjadi pilar utama dalam cita-cita pembangunan manusia. Dua hal tersebut merupakan "basic needs", meminjam istilah Mantan Bupati Luwu Utara, Lutfi Mutty, yang jika terpenuhi, akan bermuara pada meningkatnya kompetensi masyarakat.

Kebijakan diskriminatif semacam ini juga menjadi ancaman terhadap rasa kepemilikan atas kabupatennya. Rasa kepemilikan hanya akan membatin, bila mereka hidup dalam masyarkat jauh dari rasa diskriminasi, begitu kata Rafael Maran dalam Pengantar Sosiologi Politik (2001).

Pemangku kebijakan sebagai representasi mereka, mesti hadir dalam ruang-ruang kehidupan sosial dengan keputusan-keputusan yang lebih merakyat dan membumi. Kebijakan-kebijakan yang melampaui dari sekadar kepentingan individu atau kelompok (bagian), yang bertolak dari keseluruhan (masyarakat), dan mengubur segala perbedaan.

Karena mereka, para pemangku kebijakan itu, adalah akumulasi dari "rational choice" masyarakat, Pizzorno menyebutnya. Mereka adalah "yang terpilih", yang oleh rakyat, diwakilkan segala kepentingan dan keinginan kolektifnya.

Dan mestinya, tak menjadikan daerah terpencil sebagai tempat pembuangan bagi mereka yang terbuang!.

*Tulisan pertama kali dimuat di akun facebook saya An. Zulfiqar Rapang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun