Jika demikian, pantas saja mereka yang di kota menganggap diri lebih pintar dan hidup modern dan yang dari kampung dilabeli kampungan dan di anggap tak tersentuh peradaban.
Hal ini tentu berefek negatif. Dalam konteks pendidikan umpamanya, sekolah bergengsi di kota, dibanding mereka yang berasal dari desa, mereka lebih memilih menerima alumni dari kota pula. Secara konsepsi, ini termasuk dari ketidak-terpenuhannnya pemerataan-pasif, sebuah istilah yang dicetuskan Coleman, yang menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah-sekolah pilihan.
Padahal, undang-undang secara eksplisit mengamanatkan asas pemerataan (equality) dalam kehidupan sosial. Termasuk dalam hal yang disebut tadi. Dalam konteks itu pula, di haramkan adanya dikotomi daerah terpencil dan daerah kota.
Aspek pemerataan mesti menjadi perhatian, dalam distribusi guru misalnya, pendidik korban politik yang di tugaskan di daerah terpencil--fasilitas pendidikan mereka yang sejak awal sudah kurang, lalu ditambal lagi dengan kualitas pendidik semacam itu, tentu semakin memperparah keadaan. Berikan mereka guru yang kompentensinya lebih bagus.
Begitu pula tenaga kesehatan, belum lagi problem pada bidang pertanian dan jamak hal lainnya.
Padahal, keterpenuhan pendidikan dan kesehatan dalam kehidupan sosial menjadi pilar utama dalam cita-cita pembangunan manusia. Dua hal tersebut merupakan "basic needs", meminjam istilah Mantan Bupati Luwu Utara, Lutfi Mutty, yang jika terpenuhi, akan bermuara pada meningkatnya kompetensi masyarakat.
Kebijakan diskriminatif semacam ini juga menjadi ancaman terhadap rasa kepemilikan atas kabupatennya. Rasa kepemilikan hanya akan membatin, bila mereka hidup dalam masyarkat jauh dari rasa diskriminasi, begitu kata Rafael Maran dalam Pengantar Sosiologi Politik (2001).
Pemangku kebijakan sebagai representasi mereka, mesti hadir dalam ruang-ruang kehidupan sosial dengan keputusan-keputusan yang lebih merakyat dan membumi. Kebijakan-kebijakan yang melampaui dari sekadar kepentingan individu atau kelompok (bagian), yang bertolak dari keseluruhan (masyarakat), dan mengubur segala perbedaan.
Karena mereka, para pemangku kebijakan itu, adalah akumulasi dari "rational choice" masyarakat, Pizzorno menyebutnya. Mereka adalah "yang terpilih", yang oleh rakyat, diwakilkan segala kepentingan dan keinginan kolektifnya.
Dan mestinya, tak menjadikan daerah terpencil sebagai tempat pembuangan bagi mereka yang terbuang!.
*Tulisan pertama kali dimuat di akun facebook saya An. Zulfiqar Rapang