REORIENTASI
Sebagai ahli-waris peradaban, sudah selayaknya kita merasakan kegetiran akan fenomena ini. Sudah semestinya pula, kita mengambil peran dalam menjaga Bahasa Tae, ataupun bahasa-bahasa lokal kita lainnya, sebagai khazanah budaya. Pemerintah pun sebagai regulator, mesti pula mampu mencipta suasana kebudayaan yang lebih baik.
Mengutip Rosvita Dahri, layaknya kartu pengenal, Bahasa Tae' mesti ditempatkan sebagai lambang identitas lokal. Guyub tuturnya mesti dijaga sebagai warisan budaya leluhur untuk mereka, para penerus. Sebagai markah ke-Luwu-an atau kebangsaan, ia mesti diterjemahkan kembali sebagai penyanggah kepribadian diri, kepribadian bangsa, sebagai infrastruktur peradaban.
Bagi saya, layaknya mata air sebagai sumber kehidupan, bahasa daerah adalah mata air kebudayaan. Karena dari sanalah, kita dituturkan akan kekayaan budaya. Dari sanalah kita diajarkan nilai-nilai kearifan lokal.
Mata air adalah, sumber kehidupan. Tanpanya, kita tidak akan bertahan.
Pun, bahasa daerah mata air kebudayaan, yang tanpanya, kita mungkin tersedak zaman, lalu akhirnya tak bernafas. Dan mati. Yah, matinya kebudayaan.
Danggi mi macapa'!.
(*) Oleh Zulfiqar Rapang, Pegiat literasi di Sureq Institut, Palopo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H