Saat ini kita sering mendengar istilah ini. "kutu loncat". Maksudnya pejabat yang belum selesai masa jabatannya lalu meninggalkannya untuk meraih yang lebih tinggi.
"Belum selesai menjabat ko loncat, serakah tu"
Ini biasanya lontaran dari orang-orang partai tertentu yang kemudian diikuti para pendukungnya.. Tidak sadarkah mereka bahwa Ketua Dewan Pembina nya saja loncat jabatan. Belum selesai menjabat Menkopolkam sudah mundur untuk mau jadi Presiden justru menjadi saingan orang yang sudah mengangkatnya. Kutu loncat kah? Bu Sri Mulyani yang jadi menteri kemudian belum selesai sudah dipanggil dunia internasional di World Bank.. kutu loncatkah? Menteri2 di kabinet tentu sebelumnya sudah menjabat di berbagai posisi, lalu ditinggalkan dan jadi menteri… Apakah mereka mau mengatakan presidennya dalang terbesar para kutu loncat?
Pindah jabatan tentu saja bukan masalah. Apalagi naik jabatan tentu ini prestasi… Yang masalah adalah menjabat kemudian meninggalkan banyak permasalahan lalu pergi untuk cuci tangan tidak mau mengurusi.. ini masalah.
Maka justru saya sarankan pilihlah "kutu loncat".. yaitu "kutu" yang meninggalkan yang baik-baik kemudian loncat untuk memberikan yang terbaik pada yang lain. Istilah saya "kutu loncat berprestasi". (tidak enak sebenarnya menyebut "kutu", maaf banyak ya semuanya, peace..)
Maka yang penting bukan loncat atau tidaknya, tapi sebelum dan sesudah menjabat apakah menjadi banyak masalah atau menjadi lebih baik? Saya rasa boleh ditanya ke warga di kotanya yang lebih tau persis
PRIBUMI CS PENDATANG
ada beberapa isu yang disebarkan yang menurut saya lo ya.. kurang tepat dan agak mengecoh misalnya:
Pemimpin anu bukan orang asli sini jadi tidak faham seluk beluk di sini jadi pasti tidak bisa memimpin
Bukan kah bung Karno pemimpin Indonesia juga tidak faham seluk beluk kalimantan, sulawesi, papua, dsb? apakah pemimpin Indonesia harus hafal jalan jalan di daerah yang dipimpinnya? ini pemimpin atau sopir taksi? Bukankah ada staf ahli, tim ahli yang memang lebih faham persoalan teknisnya?
Jika menganut fakta sekarang di mana misalnya di DKI orang Jawa lebih banyak dari orang Betawi, maka kalau mau primordialisme, kita bisa balik juga: orang Betawi tidak berhak mimpin DKI, yang berhak orang Jawa. Orang Betawi tidak ngerti budaya Jawa… Jadi jangan jadi gubernur di DKI.. Nah… !
Atau kita flash back dahulu penduduk Indonesia adalah penganut animisme dinamisme, sekarang banyak muslim. Berarti muslim adalah pendatang. Yang mimpin Indonesia harus penganut menyembah batu besar, pohon, roh nenek moyangkah?
Begitukah?
Tapi tidak begitu tentu saja, siapapun orang Indonesia boleh jadi gubernur di DKI, dan orang DKI boleh jadi gubernur di tempat lain… DKI wilayah pesisir yang sejak zaman dahulu silih berganti banyak etnis di situ. Yang penting didukung masyarakat dan bisa memimpin… Ijazah tidak menjamin orang bisa memimpin, tidak menjamin ia akan memperhatikan masyarakat… Saya lebih suka lihat saja track recordnya, ijazah no sekian lah.. Para pembuat facebook itu bukankah mereka hanya lulusan SMA, tidak lulus kuliah?
Maka sekarang bukan saatnya meributkan isu lama pribumi vs pendatang . Sekarang jamannya pribumi cs pendatang. cs an mewujudkan yang lebih baik...
"Kota ANU berbeda dengan kota ANA"
Hehe tentu saja, siapapun tahu ANU bukan ANA.
Banyak CEO sukses yang justru didatangkan dari luar. Pak Karno sendiri pendidikannya insinyur, bung hatta hukum…. bukan lulusan IPDN… Juga SBY adalah militer, bukan orang IPDN… bukan lulusan tata kota… Sutiyoso angkatan darat kok bisabisanya suruh mimpin sipil… apa tahu orang sipil? harusnya mimpin tentara.. Ali Sadikin angkatan laut… kok suruh mimpin Jakarta..(harusnya mimpin kapal )
Pemimpin tidak bekerja sendirian… Ia bukan 1 orang yang mengurusi segala yang dipimpinnya sehingga harus tahu segalanya.. Ia konduktor, bagaikan pelatih bola kalau suruh lari dan nendang bola lebih bagus yang dilatih malahan,,,
Lalu kalau begitu apa pemimpin itu? kalau menurut Joko Widodo:
“Pemimpin itu kalau ada masalah dia paling depan, kalau masyarakat bekerja ia di tengah mereka, kalau ada kesuksesan ia paling belakang menikmati.”
Adakah calon Anda seperti itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H