Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Lebaran "New Normal" Paling Tak Terlupakan, Apa Ceritamu?

24 Mei 2020   18:25 Diperbarui: 24 Mei 2020   18:22 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Khatib di rumah saja (dok.pribadi)

Bagi umat muslim di seluruh dunia tentu lebaran kali ini menjadi lebaran "new normal" yang paling berkesan. Bagaimana tidak, beberapa orang harus menjadi imam sebulan penuh untuk salat tarawih, dan pamungkasnya menjadi imam sekaligus khatib salat Idul Fitri 1441 H di rumah saja.

Pengalaman itu pula yang akhirnya saya rasakan. Meskipun mengimami keluarga sendiri, tapi ada rasa grogi sampai-sampai lupa salah satu ayat. Karena sudah lama dan tidak terbiasa menjadi penceramah, rasanya juga kaku lagi.

Salat Id berjamaah di rumah saja (dok.pribadi)
Salat Id berjamaah di rumah saja (dok.pribadi)

Namun, hal tersebut menjadi pengalaman yang berharga, tentu bagi seluruh umat muslim khususnya di Indonesia.

Sayangnya, beberapa daerah malah di kampung saya sendiri, masih ada yang menggelar salat ied berjamaah di lapangan masjid. Padahal kelurahan tempat saya tinggal termasuk zona merah. Entah apa yang ada di pikiran pak lurah dan pak camat yang tidak mengindahkan protokol kesehatan selama pandemi saat ini. 

Khatib di rumah saja (dok.pribadi)
Khatib di rumah saja (dok.pribadi)

Amat disayangkan memang masih ada saja wakil-wakil pemerintah sendiri yang justru melanggar karena tujuan-tujuan terselubung di dalamnya. Ada yang bilang jika tidak menggelar salat ied berjamaah, maka akan berkurang pemasukan untuk kas masjid, wallahu alam. 

Demi mentaati protokol kesehatan selama pandemi, keluarga saya pun memutuskan hanya salat ied di rumah saja bersama keluarga inti. Saya berjamaah bersama kakek dan nenek anak-anak serta kakak ipar dan anak-anaknya. Itu pun harus mengikuti protokol kesehatan dengan mencuci tangan terlebih dahulu serta memberikan jarak dan tidak terlalu sering bersentuhan.

Memang terasa ada yang berbeda, karena kami sekeluarga pun tidak bisa mudik, berlebaran di kampung halaman.

Mudik virtual dengan keluarga di Jawa Timur (dok.pribadi)
Mudik virtual dengan keluarga di Jawa Timur (dok.pribadi)

Alhamdulillah, keluarga di Bandung pun bisa memahami kondisinya. Wal hasil akhirnya kami hanya bisa berkangen-kangenan secara virtual dengan adik di Padalarang, Madura, hingga keluarga besar di Situbondo, Jawa Timur. 

Silaturahmi virtual saat keluarga di Bandung ziarah kubur (dok.pribadi)
Silaturahmi virtual saat keluarga di Bandung ziarah kubur (dok.pribadi)

Lebaran tahun depan pun mungkin saja tidak ada jaminan akan kembali normal seperti sedia kala. Di tengah ketidakpastian seperti ini, yang bisa kita lakukan bersama adalah penuh harap agar biasa ditemukan vaksin dan obatnya sehingga semua bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Namun, melihat ulah dan perilaku masyarakat dalam menanggapi lebaran di saat pandemi seperti ini membuat kita mengurut dada. Ada yang masih marah-marah karena diberhentikan karena melanggar protokol kesahatan, ada yang menyeret-nyeret blokade jalan demi membuka akses dagangan, bahkan ada yang menyerbu syawalan dan departemen store demi baju lebaran.

Benar, semua pasti beralasan urusan perut tidak bisa kompromi lagi. Tapi, bukankah kita sudah ditempa selama sebulan penuh untuk berpuasa dan melawan nafsu perut? Jika demikian, barangkali puasa kita hanya mendapatkan lapar dan hausnya saja. Wallahu alam.

Lebaran tahun lalu dalam kondisi normal (dok.pribadi)
Lebaran tahun lalu dalam kondisi normal (dok.pribadi)

Mudah-mudahan lebaran yang telah kita lewati bersama ini tidak melahirkan klaster-klaster baru yang membuat para petugas kesehatan makin kepayahan. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh akibat kebodohan dan sikap egois segelintir orang.

Mereka yang bersikap apatis di tengah kondisi pandemi (dok.IG Ciledug23jam)
Mereka yang bersikap apatis di tengah kondisi pandemi (dok.IG Ciledug23jam)

Kita berharap dan berdoa mudah-mudahan dalam kehidupan new normal nanti, benar-benar memberikan proteksi kesehatan dan kenyamanan bagi seluruh pihak. Kita harus banyak belajar dari negara-negara yang sudah mulai menerapkan kondisi "new normal" tetapi justru malah makin banyak yang tertular.

Ada yang masih memaksa mudik hingga dipaksa putar balik (dok.kompas)
Ada yang masih memaksa mudik hingga dipaksa putar balik (dok.kompas)

Hal itulah yang harus dipahami oleh semua masyarakat. Pemerintah pun sebenarnya galau dalam memutuskan kebijakan. Satu sisi harus mengutamakan kesehatan, di sisi lain perekonomian terancam tidak jalan jika terus-terusan dibatasi pergerakannya.

Jalan terakhir yang bisa kita lakukan hanya berdoa-berdoa dan berusaha semampu kita, berharap para ilmuwan, akademisi, dan para praktisi memberikan solusi di tengah pandemi seperti ini. Kita percayakan semuanya pada putra putri bangsa yang sudah melahirkan alat-alat serta teknologi untuk berperang menghadapi pandemi sembari kita menunggu dan memberikan dukungan kepada semua pihak yang sudah berjuang.

Ventilator dalam negeri semoga cepat lulus uji (dok.kompas)
Ventilator dalam negeri semoga cepat lulus uji (dok.kompas)

Mudah-mudahan, lebaran yang kita rayakan bersama ini menjadi momen batu loncatan kemenangan bersama dalam menghadapi pandemi. Amin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun