Alhamdulillah, keluarga di Bandung pun bisa memahami kondisinya. Wal hasil akhirnya kami hanya bisa berkangen-kangenan secara virtual dengan adik di Padalarang, Madura, hingga keluarga besar di Situbondo, Jawa Timur.Â
Lebaran tahun depan pun mungkin saja tidak ada jaminan akan kembali normal seperti sedia kala. Di tengah ketidakpastian seperti ini, yang bisa kita lakukan bersama adalah penuh harap agar biasa ditemukan vaksin dan obatnya sehingga semua bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala.
Namun, melihat ulah dan perilaku masyarakat dalam menanggapi lebaran di saat pandemi seperti ini membuat kita mengurut dada. Ada yang masih marah-marah karena diberhentikan karena melanggar protokol kesahatan, ada yang menyeret-nyeret blokade jalan demi membuka akses dagangan, bahkan ada yang menyerbu syawalan dan departemen store demi baju lebaran.
Benar, semua pasti beralasan urusan perut tidak bisa kompromi lagi. Tapi, bukankah kita sudah ditempa selama sebulan penuh untuk berpuasa dan melawan nafsu perut? Jika demikian, barangkali puasa kita hanya mendapatkan lapar dan hausnya saja. Wallahu alam.
Mudah-mudahan lebaran yang telah kita lewati bersama ini tidak melahirkan klaster-klaster baru yang membuat para petugas kesehatan makin kepayahan. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh akibat kebodohan dan sikap egois segelintir orang.
Kita berharap dan berdoa mudah-mudahan dalam kehidupan new normal nanti, benar-benar memberikan proteksi kesehatan dan kenyamanan bagi seluruh pihak. Kita harus banyak belajar dari negara-negara yang sudah mulai menerapkan kondisi "new normal" tetapi justru malah makin banyak yang tertular.
Hal itulah yang harus dipahami oleh semua masyarakat. Pemerintah pun sebenarnya galau dalam memutuskan kebijakan. Satu sisi harus mengutamakan kesehatan, di sisi lain perekonomian terancam tidak jalan jika terus-terusan dibatasi pergerakannya.