Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kisah Anak Manusia Gerobak

23 Mei 2020   22:30 Diperbarui: 23 Mei 2020   22:29 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi maunusia gerobak (dok.kompas.com)

Hilal telah tampak seperti diumumkan di televisi. Aku sumringah menyambutnya. Itu pertanda orang tuaku akan mendapatkan uang tambahan untuk lebaran.

Seminggu yang lalu, aku memang sudah diajak jalan-jalan dengan gerobak tua ayah. Biasanya kakak dan ibuku mengikuti kami dari belakang. 

Karena aku masih balita, aku tidak pernah turun dari gerobak. Sehingga aku tahu apa yang ada di sekeliling ketika gerobak tengah berjalan.

Aku kurang paham kenapa ayah dan ibuku selalu berpenampilan compang camping saat 10 hari memasuki lebaran. Padahal keseharian kami tidak seperti ini. 

Tapi kata ayah, bahwa hanya dengan cara itulah kami bisa mendapatkan tambahan uang. Biasanya ada para dermawan yang menghampiri kami dan langsung memberikan bantuan.

Bantuan yang kami terima sangat beragam. Ada beras, minyak, dan kebanyakan amplop berisi uang. Aku tidak pernah tahu berapa yang ayah dan ibu bisa kumpulkan dari amplop-amplop tersebut. 

Yang aku tahu, setiap malam ada perkumpulan orang-orang seperti kami. Satu persatu memberikan setoran kepada seorang lelaki bertubuh tegap. Begitu seterusnya sampai malam lebaran.

Kata ayah, kami sudah menjalani kehidupan seperti ini selama 10 tahun. Sayang, ayah bilang kalau tahun ini pendapatan sedang berkurang. Katanya karena sedang ada pandemi. Itulah sebabnya kemanapun kami pergi, kami selalu menggunakan masker. 

Kadang-kadang aku iri juga melihat anak-anak seusiaku bermain-main di halaman rumah. Rumah-rumah mereka sebenarnya sederhana, tapi aku melihat kehangatan. Anak-anak bebas berlarian sambil menggenggam sebuah lidi yang menyala.

Aku pernah protes pada ayah, kenapa kami tidak kembali ke kehidupan kami sebelumnya. Hidup tenang di kampung halaman. Tapi, setiap aku tanyakan, ayah tak pernah menjawab. Yang aku tahu, ayah sebenarnya punya rumah dan sawah di kampung. Kami sebenarnya baik-baik saja di kampung. Aku juga tidak mengerti kenapa baju kami selalu lusuh setiap mau lebaran.

Hidup di dalam gerobak sungguh tak nyaman. Kadang panas dan hujan tetap kami lalui. Sesekali ayah membelikan kami makanan cepat saji yang sangat enak. Tapi, lama kelamaan bosan juga. Karena rata-rata menu berbuka puasa yang kami dapatkan dari para dermawan pun tak jauh berbeda.

Aku sebenarnya rindu kampung halaman. Aku sangat rindu dengan sawah, bebek, dan si jalu, ayam jantan peliharaan ku yang selalu berkokok dengan nyaring. 

Tapi, ayah bilang bahwa aku selalu membawa keberuntungan. Makanya ayah dan ibu selalu membawaku kemanapun kami pergi dengan gerobak tua ini. Ayah menyewanya pada seseorang. Orang itulah yang akan menagih tiap malam. Setelah semua usai, barulah kami pulang dan hidup normal seperti sedia kala.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun