Kebetulan saat ini saya bekerja di sebuah tempat yang berbeda. Bukan kantor sendiri melainkan sebuah co-working space yang diisi oleh beberapa startup yang berbeda. Uniknya bukan hanya di situ saja. Beberapa diantaranya bahkan merupakan warga negara asing.
Nah, kebetulan co-working space yang kami tempati punya agenda makan-makan sekali dalam sebulan. Jika pada hari biasanya, kadang-kadang dilakukan pada pagi hari sembari sarapan tapi kadang juga dilakukan saat istirahat makan siang.
Menunya benar-benar menu ala Indonesia. Mungkin sembari mengenalkan juga tradisi masakan asal Indonesia ke beberapa WNA yang juga bekerja di daerah Mega Kuningan. Menu makanannya mulai dari bakmi jawa, rawon, soto, bakso, siomay, bakso malang hingga ketupat sayur.
Karena saat ini berbarengan dengan bulan puasa. Kegiatan tersebut akhirnya diselenggarakan pada jelang berbuka puasa. Di sinilah saya merasa keberagaman itu tampak. Meski ada yang tidak berpuasa, tapi kami antre sesuai dengan giliran.
Tidak ada perlakuan istimewa bagi kami yang berpuasa untuk mendapatkan makanan paling pertama. Inilah justru yang saya suka. Kami memang tidak ingin diperlakukan istimewa. Jika toh harus mendapatkan giliran terakhir sih tak apa-apa. Anggap saja ujian di bulan puasa.
Di sinilah juga terungkap ternyata beberapa teman saya yang tidak berpuasa, ternyata juga sangat menyukai buah kurma. Apalagi kurma yang kering. Malahan salah satu diantaranya sampai membeli satu kotak kurma untuk camilan di kantor.
Selama puasa, kegiatan di kantor pun berjalan normal. Tidak ada pengurangan jam kerja apalagi pulang lebih awal seperti karyawan atau PNS ibu kota. Di kantor kamu semua berjalan seperti biasanya, normal-normal saja.
Meski awalnya memang agak sedikit kaget juga. Tapi, inilah konsekuensi bekerja di sebuah perusahaan Internasional dengan karyawan dari berbagai latar belakang termasuk dari negara yang berbeda.
Mereka yang tidak berpuasa pun bisa menikmati sarapannya di pantry, sebuah tempat khusus yang menyediakan kopi dan berbagai minuman gratis dengan metode self service. Sedangkan yang berpuasa pun tak merasa terganggu dengan wangi makanan atau wangi mi instan yang dimasak tengah hari bolong.
Suasana seperti inilah yang menunjukkan keberagaman. Masing-masing tetap bisa menjalankan "ritualnya" tanpa terganggu dengan momen bulan puasa. Bagi yang berpuasa pun sebenarnya tidak terlalu berat, karena lambat laun justru akan terbiasa dengan kondisi demikian.
Keuntungannya, saya jadi bisa izin pulang cepat dengan alasan mengikuti buka bersama di luar, hahaha. Mulai dari buka bersama teman kantor lama, teman blogger, dan acara-acara lainnya yang mengharuskan saya pulang lebih awal.
Atasan saya pun tidak mempermasalahkan hal tersebut selama target harian yang sudah ditetapkan tidak terlantarkan. Itulah mengapa jika ada acara buka bersama, sesegera mungkin saya selesaikan sebelum meninggalkan kantor supaya bisa ikut kegiatan buka bersama dengan perasaan plong dan tanpa beban.
Pengalaman tahun ini merupakan pengalaman pertama saya berada di kantor yang multietnis. Perbedaan antara kami bukan menjadi persoalan meskipun saya dan teman-teman muslim lain harus berpuasa.
Malahan, produktivitas pekerjaan jadi lebih meningkat. Konsekuensi karena tidak kerja sambil ngemil, hahaha. Jam istirahat makan siang pun jadi lebih singkat. Biasanya baru sampai ruangan jam 13.00 WIB, sekarang 12.30 saja sudah standby lagi di tempatnya.
Andai kata kondisi seperti ini bisa terjadi di luar sana, tentu rasa kebersamaan akan semakin terasa. Kita boleh beda, tapi tetap sama-sama saling menghormati dan tetap satu tujuan menjaga keutuhan bangsa. Potret ini juga sudah kita lihat sendiri betapa umat agama lain menunjukkan toleransi dan kepeduliannya dengan membagi-bagikan paket buka puasa di jalanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H