Sabtu lalu saya punya dua agenda yang sama-sama menarik. Paginya saya ke GBK untuk hadir dalam acara Festival Pesona Lokal Jakarta. Acaranya keren banget karena ada Parade Karnaval Budaya. Bukan cuma budaya Jakarta saja, tapi juga ada dari daerah lainnya.
Jelang siang saya langsung meluncur ke Stasiun Palmerah langsung ke Tangerang. Terpaksa saya harus meninggalkan acara, padahal ada penampilan Via Vallen yang memukau saat Asian Games 2018 lalu. Karena "tugas negara", terpaksa saya harus tinggalkan Via di panggung sendirian hehehehe.
Setelah acara di salah satu hotel di Tangerang, barulah saya jalan-jalan di sektiar Cisadane Walk hingga ke Jembatan kaca. Jujur, baru kali itu saya benar-benar menikmati suasana sore di pinggir kali Cisadane.
Revitalisasi pinggir kali Cisadane benar-benar memberikan suasana baru. Trotoar sepanjang sungai yang luas benar-benar membuat pejalan kaki merasa nyaman menyusuri sungai.
Sore itu cuaca memang kurang bersahabat, apalagi saat siang sudah turun hujan cukup lebat di kawasan Tangerang. Sambil menunggu hujan reda akhirnya saya mengajak teman-teman yang lain meneduh sambil ngopi di salah satu kafe pinggir jalan.
Kafenya terlihat sepi dan baru kami saja pengunjung yang datang. Setelah itu saya memesan minuman dan roti bakar. Minuman yang saya pesan sangat unik. Namanya Kopi Buaya. Kata waiternya, Kopi Buaya adalah perpaduan kopi dan pandan. Makin penasaran lah saya dibuatnya.
Mas Ono yang tadinya memesan Caffe Latte akhirnya tertarik juga untuk memesan Kopi Buaya.
"Namanya bikin penasaran" kata mas Ono.
Saat datang, saya sempat bergurau pada waiternya.
"Mbak, gak ada diskon nih buat blogger?" ujar saya.
"Oh ya mas, nanti saya tanya dulu ya sama ownernya. Kebetulan promo diskon 20 persennya baru berakhir kemarin tanggal 10 November 2018. Siapa tahu ada kebijakan baru dari ownernya" jawabnya.
Sore itu, kebetulan kami baru saja menghadiri sebuah acara. Tanpa rencana, mbak Mey Agatha, teh Ani Berta, mas Ono, mbak Tuty dan Riri sepakat untuk jalan-jalan menyusuri Cisadane Walk hingga berfoto di Jembatan Kaca Tangerang yang terkenal sebagai salah satu spot Instagramable baru.
Ketika kami ngobrol, kami dikejutkan dengan tiga orang sosok pemuda yang datang bersama waiter yang sebelumnya melayani kami. Akhirnya kami berkenalan dengan mereka.
Saya tidak pernah membayangkan jika owner kafe di kawasan strategis ini adalah sosok-sosok pemuda yang seusia dengan adik saya. Â
Mereka adalah Ilyas Kausar, Giri Rindra Wardana, Iden Fikri. Ilyas kini sedang sibuk kuliah S2 sementara Giri dan Iden punya pekerjaan lain. Ketiga sekawan ini adalah alumni SMA 1 Tangerang.
Ternyata Hulukali baru saja launching sebulan yang lalu. Artinya memang baru berjalan tidak terlalu lama. Mereka mengaku bahwa konsep untuk mendirikan kafe ini sudah dipikirkan sejak April 2017 dan baru terwujud pada akhir Oktober 2018.
Masing-masing memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda tapi saling melengkapi. Ilyas kebetulan memiliki latar belakang Hukum dari Universitas Trisakti. Sedangkan Giri baru lulus dari Arsitek Undip di Semarang dan Iden yang paling paham soal konsep makanan adalah lulusan Manajemen Bisnis.
Menariknya kalau soal makanan, sosok yang memang punya kompetensi tersebut terlihat dari postur tubuhnya adalah Iden Fikri. Saya takjub juga dengan wawasan kuliner Iden. Dia paham juga kopi dan konsep kuliner yang ditawarkan kafe HuluKali.
Kafe HuluKali adalah wujud kolaborasi generasi milenial yang terkonsep dengan baik. Tidak ada satupun yang mendominasi, yang ada justru mereka saling melengkapi dengan latar belakangnya masing-masing.
Dari perbincangan kami, saya merangkum ada tiga kuliner lokal yang jadi andalan di HuluKali, yaitu Nasi Jagal, Laksa dan Kopi Buaya.
Iden sampai harus jauh-jauh ke Madura untuk menelusuri riwayat Nasi Jagal. Karena kebetulan si penjual Nasi Jagal merupakan orang Madura. Mengapa disebut Nasi Jagal? Asal usul Nasi Jagal ternyata karena nasi dengan bumbu dan potongan daging ini dijual tak jauh dari lokasi Rumah Jagal Benteng.
Mereka melakukan hal ini bukan tanpa alasan. Selama 30 hari berjalan, rata-rata pemesanan justru lebih didominasi dengan kuliner bernuansa westren seperti pasta. Berangkat dari selara pasar inilah Iden dan kawan-kawannya berusaha untuk melakukan inovasi bagaimana caranya agar kuliner lokal tetap menjadi tuan rumah di Tangerang.
Karena penasaran dengan cerita Iden, akhirnya saya memesan Nasi Goreng Jagal. Harganya sekitar Rp 25 ribu perporsi dengan plating yang sangat menarik.
Untuk rasa Kopi Buaya sendiri setelah saya cicipi ternyata rasanya lebih didominasi dengan rasa pandan ketimbang kopi. Iden pun mengamini demikian. Bahkan Iden sudah berualng kali mencoba beberapa kopi yang cocok untuk menghasilkan resep yang pas untuk Kopi Buayanya.
Akhirnya Nasi Goreng Jagal pun datang. Saya langsung memburunya. Rasanya sangat menarik dan enak. Ada rasa gurih dan sedikit manis dan perpaduan daging cincang yang nikmat. Setelah mencobanya saya langsung jatuh cinta dengan Nasi Jagalnya.
Oh ya, kafe ini memang hanya ramai saat malam hari. Itulah sebabnya kafe ini baru buka mulai dari pukul 3 sore sampai pukul 11 malam. Saat weekend, kafe ini memperpanjang jam bukanya hingga pukul 12 malam. Pantas saja saat kami datangi sore hari, kafe ini masih terlihat sepi.
Iden juga bercerita jika konsumennya memang berasal dari kalangan muda. Utamanya seumuran mereka sendiri. Mereka bertiga berharap bisa berkolaborasi dengan berbagai komunitas di Tangerang di HuluKali.Â
Apapun yang dilakukan HuluKali tetap harus diapresiasi. Laksa yang serasa spaghetti saya pikir jadi salah satu strategi untuk mengangkat kuliner lokal dan mengenalkannya pada generasi milenial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H