Saat pesta demokrasi tahun 2014, saya masih ingat waktu itu Partai Gerindra dan juga Prabowo begitu menggaungkan untuk mengembalikan marwah Indonesia sebagai Macan Asia. Macan Asia yang dimaksud barangkali adalah pertumbuhan ekonomi yang memiliki tren positif dibandingkan dengan negara lain.
Okelah kalau begitu. Coba kita simak paparan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2017. Ini hanya contoh saja lho ya. Sebagai pembanding di mana posisi Indonesia jika ingin dilihat peringkatkan dari negara tetangganya.
Data yang diolah dari BPS dan Reuters pertumbuhan ekonomi Indonesia kala itu mencapai 5,07% sedangkan Singapura, tempat para koruptor dari Indonesia melarikan diri mencatat pertumbuhan ekonomi 3,5% saja. Menarik kan?
Perlu diingat bahwa Singapura udah jerit-jerit dengan berbagai macam kebijakan Indonesia mulai dari kebijakan Ibu Susi dalam bidang kelautan sampai dengan program amnesti pajak yang bikin beberapa konglomerat yang menyimpan duitnya di Singapura bakal ketahuan.
Walhasil negara yang selama ini masih impor air dari negeri Jiran tersebut angka pertumbuhan ekonominya mencatatkan diri di bawah Indonesia.Â
Tapi, jangan senang dulu. Indonesia harus bersaing dengan Filipina dan Vietnam. Catatan pertumbuhan ekonomi mereka 6,7% dan 6,81%. Jauh lebih tinggi bukan?
Ya, kadang meskipun mannernya rada bikin geleng-geleng kepala, tapi turis China ini disukai oleh para pedagang di Eropa sana. Soalnya, turis China ini tak pernah tanggung-tanggung borong barang belanjaan. Bodo amat dengan perilaku mereka yang menjengkelkan asal kantong tebal.
Melihat angka-angka itu, jargon untuk menjadikan Indonesia sebagai Macan Asia sebetulnya sudah kena banget, dulu. Sayangnya justru jargon ini malah hilang dan senyap begitu saja.Â
Anehnya, tidak ada angin dan tidak ada hujan, Prabowo justru seperti orang linglung dan kehilangan jati dirinya dengan menjiplak kampanye Donald Trump mentah-mentah dengan slogan "Make Indonesia Great Again". Slogan ini malah banyak diplesetkan jadi "migren".
Ya gimana gak mau migren. Kubu Prabowo seperti sudah kehilangan arah. Orientasi suara yang dibidik juga makin kabur. Beda dengan wakilnya bang Uno yang cukup konsisten membidik suara milenial dan emak-emak.
Naga-naganya kalau memang Prabowo copas blek kampanya yang dilakukan om Trump, pesta demokrasi tanpa SARA itu cuma gombal doang. Lah, gimana gak gombal! Inget aja kasus rasis di USA saat Trump berkampanye melonjak tinggi.
Malahan kasus-kasus tersebut terang benderang dilakukan di tempat-tempat umum terutama di angkutan transportasi seperti bus dan kereta.
Kalau nonton video @ajplus, sampeyan pasti bisa lihat banyak banget tuh warga atau imigran berkulit gelap yang diperlakukan buruk sama mereka yang berkulit putih. Jangan salah, mereka yang dari Amerika Latin saja ada yang kena sentimen yang sama kok.
Coba deh bayangin kalau model kampanye "migren" Prabowo dibawa ke Indonesia. Apa enggak mengancam persatuan dan kesatuan yang selama ini diperjuangkan? Apa enggak berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa? Apa enggak mengancam Bhineka Tunggal Ika?
Indonesia beruntung sekali punya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Karena inilah yang menyatukan perbedaan kita semua dalam "wadah" yang sama.
Kubu Prabowo sepertinya memang sudah kehilangan akal sehat dan kesadaran jika cara-cara seperti Trump seperti itu diimpor ke Indonesia. Baru aja kita adem dengan dibubarkannya HTI, yang mengimpor radikalisme dan bibit intoleran ke Indonesia. Jangan sampai ditambah dengan bibit SARA yang bisa membuat saudara saling bertengkar lagi.
Sudah cukup satu Trump untuk membuat dunia geger. Apalagi kalau ada Trump KW di Indonesia. Satu negara bisa lebih heboh lagi seperti kasus hoax Ratna Sarumpaet.
Jadi, mimpi Indonesia menjadi Macan Asia bagai pungguk merindukan bulan jika ditempuh dengan cara-cara yang mengancam persatuan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H