Ia memilih untuk tidak menolong korban saat ia punya kesempatan dan momen yang tepat untuk mengabadikan korban-korban yang ada di lokasi bencana.
Mungkin terdengar egois sekali. Tapi, itulah seorang fotografer media cetak.
Arbain punya alasan kuat mengapa ia lebih memilih memotret dibandingkan harus menolong korban.
"Tangan saya cuma punya dua, kalau saya membantu korban paling hanya satu dua orang yang bisa saya tolong. Kalau saya memotret, ada ratusan bahkan ribuan foto yang bisa saya abadikan" ujarnya.
Dan momen tidak bisa diulang lagi. Maka, dalam kesempatan bencana sekalipun tetap ia manfaatkan untuk mengabadikannya.
Arbain beralasan bahwa fotonya justru perlu diketahui oleh dunia. Arbain merasa sangat perlu mengabadikan kondisi bencana atau korban-korban bencana sesuai dengan kondisi yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Dari foto itulah akan tersiar kabar bencana memang benar terjadi. Foto itulah yang berjasa hingga dunia tahu bahwa ada bencana. Foto itulah yang menggerakkan orang untuk menjadi relawan, foto itulah yang membuat para dermawan merogoh koceknya dalam-dalam untuk membantu para korban.
Selain foto, kini video pun sangat diperlukan untuk merekam detik-detik dahsyatnya bencana itu terjadi. Mengapa?
Pertama, video bisa jadi dokumentasi autentik sehingga bisa menjadi contoh dan pelajaran bagi generasi yang akan datang. Bahwa bencana itu memang pernah datang seperti yang terjadi di Palu.
Menurut para peneliti, hilangnya sebuah desa di Petobo sebetulnya sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Tapi, hal tersebut diketahui hanya berasal dari cerita dari mulut ke mulut dan tak pernah diketahui alasan pasti selain dikaitkan dengan mistis.
Kini, berkat warga yang merekam detik-detik bencana datang, meskipun mereka dalam kondisi terancam, bisa membuat seluruh dunia tahu betapa dahsyatnya Sesar Palu Koro hingga menenggelamkan ribuan orang dalam sekejap.