Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

5 Tradisi Lebaran yang Mirip dengan Tradisi Masyarakat Tionghoa

13 Juni 2018   20:28 Diperbarui: 13 Juni 2018   20:37 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara tidak kita sadari ternyata ada banyak kemiripan tradisi Lebaran umat Islam dalam rangka menyambut kemenangan dengan tradisi masyarakat Tionghoa ketika merayakan Imlek.

Beberapa tradisi Lebaran ini pun masih dijalankan dan tak lekang dimakan zaman meskipun kemajuan teknologi yang begitu pesat. Ada juga sih beberapa tradisi Lebaran yang sudah tidak kita lakukan misalnya dengan mengirimkan kartu ucapan Lebaran karena sekarang sudah tergantikan dengan media sosial maupun aplikasi percakapan daring.

Namun demikian, beberapa tradisi Lebaran ini menjadi simbol kebersamaan dan menjadi simbol bahwa negara ini dibangun dengan nilai-nilai luhur yang menjunjung kebersamaan dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika.

Baca Kebiasaan Ayah Memberikan Hadiah Pada Saat Lebaran

Membersihkan Rumah

Tradisi Lebaran pertama yang sama dengan tradisi masyarakat Tionghoa saat menyambut Imlek adalah tradisi membersihkan rumah. Dalam tradisi masyarakat Tionghoa dikenal dengan tradisi membersihkan rumah dari debu (shau chen). 

Tradisi membersihkan rumah bagi masyarakat Tionghoa amat penting. Filosofinya adalah membersihkan segala keburukan pada masa lampau dan menyambut tahun baru yang lebih baik lagi.

Ilustrasi (dok.pribadi)
Ilustrasi (dok.pribadi)
Tradisi yang tidak berbeda dengan beberapa warga masyarakat yang menyambut Lebaran. Lebaran diartikan kembali suci atau kembali fitrah setelah sebulan penuh berpuasa.

Dengan membersihkan rumah, mengecat rumah salah satu simbol kembali fitri. Selain memiliki makna simbolis, membersihkan rumah juga membawa manfaat lain. Membuat semangat baru dengan suasana rumah yang baru meskipun hanya dengan cat baru.

Kupatan

Saat saya ke Semarang mengunjungi Rumah Makan Semarang. Pemiliknya Jongkie Tio yang juga pendongeng peranakan Tionghoa menceritakan bahwa tradisi kupatan yang sudah dilakukan sejak zaman Walisongo turut juga diikuti oleh warga Tionghoa.

Salah satunya dengan menghidangkan lontong cap go meh. Kuliner khas pada saat Imlek ini juga menggunakan lauk opor ayam. Bedanya dalam tradisi Lebaran biasanya selain ada opor ayam juga disajikan pula sambal goreng ati dan juga makanan paling enak sedunia, rendang.

Lontong Cap Go Meh (dok.pribadi)
Lontong Cap Go Meh (dok.pribadi)
Tradisi kupatan yang sarat dengan nilai-nilai filosofis inilah yang mempengaruhi tradisi masyarakat Tionghoa di pesisir pantai pulau Jawa termasuk di Semarang.

Sedianya kupatan memang dilakukan pada saat hari Raya. Namun persiapannya sudah dilakukan beberapa hari sebelum Lebaran. Berbeda dengan tradisi kupatan masyarakat Tionghoa yang dilakukan tujuh hari setelah perayaan Imlek.

Baca 5 Ciri Orang yang Merindukan Bulan Ramadhan

Saling Mengirimkan Makanan

Beririsan dengan tradisi kupatan, makanan yang disajikan di rumah pun sedianya dikirimkan pada tetangga dan kerabat dekat. Dalam tradisi Tionghoa juga dikenal dengan tradisi saling mengunjungi keluarga dengan membawa makanan untuk membahagiakan orang lain.

Dalam tradisi Lebaran umat Islam memang tradisi mengirimkan makanan ini bisa dilakukan sebelum Lebaran atau pada saat setelah melaksanakan salat Idulfitri.

Anak-anak mengunjungi rumah orang tua dan meminta maaf. Atau keluarga yang lebih muda mengunjungi keluarga yang lebih tua sebagai salah satu simbol penghormatan.

Kunjungan tersebut kadang-kadang juga dilakukan dengan membawa buah tangan berupa makanan siap saji maupun makanan kaleng lengkap beserta dengan sirupnya.

Baca Cerita Mudik 12 Jam Perjalanan dari Tangsel ke Bandung

Mudik

Tradisi mudik menjadi salah satu yang paling ditunggu. Mudik ternyata juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Mereka bisanya melakukan mudik sebelum Imlek atau setelahnya dengan mengunjungi keluarga atau orang tua. Bahkan ada juga yang masih konsisten mengunjungi para leluhurnya meskipun harus melintasi laut menyeberangi pulau.

Mudik juga dijadikan kesempatan untuk wisata bersama keluarga (dok.pribadi)
Mudik juga dijadikan kesempatan untuk wisata bersama keluarga (dok.pribadi)
Beberapa hari sebelum Lebaran, masyarakat berbondong-bondong melakukan mudik dengan harapan agar bisa berlebaran di kampung halaman. Jutaan orang bergerang dalam waktu yang sama. Wajar jika terjadi kemacetan.

Pemerintah pun berusaha untuk memfasilitasi masyarakat untuk bisa mudik dengan aman dan nyaman. Mudik bukan hanya milik umat Islam namun sudah jadi tradisi bangsa ini sebagai salah satu bukti syukur dan menumpahkan rasa kangen pada kampung halaman tercinta.

Baca Jangan Memberikan Salam Tempel Lebaran karena Gengsi Semata!

Angpao

Meskipun tradisi ini memang tidak ada dalam tradisi Lebaran umat Islam, namun tradisi salam tempel atau angpao ini bukan tradisi yang asing di tengah-tengah masyarakat Tionghoa.

Dalam kebiasaan masyarakat Tionghoa tradisi memberikan angpao kepada kerabat atau keluarga yang belum menikah bermakna memberikan atau mentransfer energi serta menularkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Angpao biasanya diberikan dalam amplop berwarna merah sebagai simbol untuk mengusir setan.

angpao bisa dijadikan sangu untuk jalan-jalan (dok.pribadi)
angpao bisa dijadikan sangu untuk jalan-jalan (dok.pribadi)
Meskipun ada pro dan kontra di tengah masyarakat, simbol pemberian angpao pada saat Lebaran bagi saya adalah sebagai salah satu simbol reward kepada anak-anak yang baru belajar berpuasa.

Selain itu mereka juga diajarkan untuk terbiasa menabung demi mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan.

Maknanya dalam tradisi Lebaran tidak jauh berbeda karena punya tujuan sama-sama membahagiakan orang lain terutama anak-anak yang sudah berhasil menjalankan puasa sebulan penuh. Kerja keras mereka dan perjuangan mereka menahan lapar dan dahaga patut diapresiasi.

Pergeseran yang terjadi lumrah karena dipengaruhi oleh tradisi, pemikiran dan pendidikan dari keluarga masing-masing. Namun, secara umum tradisi angpao bukan tradisi menghamburkan uang, bukan tradisi mendidik anak jadi bermental seperti pengemis atau ajang untuk gaya-gayaan membuktikan siapa yang paling kaya dan berkuasa.

Dzulfikar

*dari berbagai sumber

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun