Sebagai keluarga besar yang hidup berkecukupan, alhamdulillah saya memiliki kedua orang tua yang berusaha selalu memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Tak terkecuali dengan hadiah Lebaran.
Keluarga kami memang keluarga besar. Saya merupakan anak ke dua dari 12 bersaudara. Jadi, jika ayah mau memberikan hadiah lebaran berupa angpao misalnya satu orang Rp 50 ribu. Setidaknya ayah harus menyiapkan uang sebesar Rp 600 ribu.
Baca Cerita Mudik 12 Jam Perjalanan dari Tangsel ke Bandung
Namun, ada salah satu kebiasaan unik yang selalu ayah lakukan pada penghujung Ramadan. Ayah biasanya mengumpulkan semua anak-anaknya di dalam satu ruangan. Kebiasaan tersebut yang hingga kini tetap kami laksanakan meskipun ayah sudah tiada.
Karena kami keluarga besar, jadi kami bisa melaksanakan salat berjamaah di rumah. Ayah yang menjadi imamnya sementara anak laki-laki paling kecil yang menjadi muadzinnya.
Setelah selesai salat, barulah Ayah memberikan berbagai macam nasihat dan petuahnya. Ya, kadang-kadang serius kadang-kadang diselingi dengan tawa canda. Hanya saja Ayah saya itu kadang-kadang kurang pandai melucu, jadi ketika dia melemparkan sebuah joke kami malah terdiam satu sama lain dan berusaha untuk memahami guyonannya.
Tapi, itulah ayah. Selalu berusaha membuat kami tertawa dan ceria. Selama ini meskipun kami hidup berkecukupan, ayah tak pernah sedikitpun mengeluh tentang beratnya kehidupan. Semua dilaluinya dengan ikhlas, tawakal dan penuh kerelaan meskipun gajinya seumur hidup tak pernah menyentuh UMP kota Bandung.
Baca Uak Haji, Sosok yang Setia Membangunkan Warga saat Sahur
Kami, anak-anaknya mengenal Ayah sebagai sosok yang jujur dan amanah. Ayah tak pernah berusaha untuk memperkaya diri. Meskipun ada kesempatan untuk itu. Ketika meninggal dunia, pakaian yang dikenakannya benar-benar pakaian takwa. Ayah paling takut jika ada hartanya yang tidak halal. Itulah sebabnya Ayah berpesan untuk tidak mengambil sepeserpun hak orang lain.
Tapi, anehnya kondisi kami baik baik saja. Selalu saja ada pertolongan Tuhan hingga kami, anak-anaknya bisa bersekolah hingga jenjang kuliah. Ayah dan Bunda memang sudah bekerja keras untuk kami semua. Jujur, itu saja sudah menjadi hadiah Lebaran paling istimewa untuk saya.
Oh ya, ketika saya belum menikah. Ayah biasanya memberikan angpao. Selebihnya ayah akan memberikan tambahan angpao yang lebih besar buat anak-anaknya yang bisa khatam Al-Quran selama bulan Ramadan. Hadiah Lebaran itu untuk seukuran kami termasuk sangat mewah. Dan kami sangat senang Ayah bisa memberikan perhatian dan penghargaan tersebut pada kami.
Kebiasaan unik lain yang belakangan ayah lakukan adalah memelihara ayam jelang Lebaran. Pasti sudah lumrah kan harga daging ayam melonjak tinggi jelang Lebaran?
Baca Kalau Takut Tak Dapat THR, Jangan Jadi "Freelancer"!
Nah, ayah sudah mengantisipasinya dengan memelihara ayam sebelum Ramadan. Dengan harapan bisa dipotong pada saat Lebaran untuk Opor Ayam.
Tapi, gara-gara saya diminta untuk membantu memotong ayam sendiri, membersihkan bulu-bulunya dan mencium aromanya yang tak sedap itu membuat saya jadi kurang berselera ketika sudah disajikan dalam bentuk opor ayam sekalipun hahahaha.
10 hari Ramadan biasanya ayah sudah memilih beberapa ayam yang akan dipotongnya. Beberapa disiapkan untuk acara buka bersama dan sisanya disiapkan untuk menyambut Hari Raya.
Cara kami bahagia memang sederhana. Dan kebahagiaan itu rasanya hanya sebentar saja kami rasakan. Kini setelah ayah pergi, setiap Lebaran yang kami lalui rasanya memang sangat berbeda. Jauh berbeda tanpa kehadiran ayah.
Sekarang, kami anak-anaknyalah yang bergantian memberikan "hadiah Lebaran" untuk ayah di alam barzah berupa doa-doa dari ke 12 anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H