Pagi itu aku masih kesal pada sosok yang semakin tua dengan kulitnya yang kian keriput. Tapi, berbeda dengan fisiknya yang masih tegap, berperawakan tinggi dan juga selalu tersinggung senyum simpul tipis diujung bibirnya.
Aku masih tak setuju ketika Ayah menerima tawaran menjadi seorang petugas keamanan di Gereja yang cukup jauh dari rumah. Ia menerima bukan karena alasan materi, tapi karena alasan ingin memberikan rasa aman pada pemeluk agama lain.
Aku memang satu-satunya anak yang menentang keputusannya. Aku pikir, ia bisa mendapatkan pekerjaan lain. Tak harus di Gereja.
"Ayo nak, kita sarapan dulu." kata ayah mengajakku dan adikku untuk sarapan bersama sebelum berangkat ke sekolah.
Kebiasaan sehari-hari yang tak pernah dilewatkan oleh Ayah. Apalagi aku harus diantar ayah setiap pagi demi menghemat ongkos.
Setelah ayah mengantarku ke salah satu SMA terkenal di Surabaya dengan motor bututnya, kemudian giliran mengantarkan adikku di salah satu SD, dekat dengan tempat kerjanya di sebuah Gereja.
Sebenarnya pekerjaan Ayah tergolong tidak terlalu ketat. Ia sudah 5 tahun mengabdi di Gereja itu. Ia bisa pulang sementara, ketika adik pulang sekolah. Sementara aku memilih menggunakan angkutan umum.
"Pokoknya kakak gak setuju ayah kerja di Gereja!" pekikku waktu itu.
"Ayah kan bisa cari kerjaan lain, asal bukan di Gereja. Kenapa harus Gereja yah?" buruku dengan sorot tajam.
Aku kecewa Ayah tak mau mendengarkan pendapatku. Sementara Ibu, tak banyak bicara dengan pilihan Ayah. Adikku masih terlalu kecil untuk memahaminya.
Ayah tak banyak memberikan alasan dan penjelasan yang konkrit padaku. Yang kutahu, Ayah cuma ingin membantu temannya seorang pastor di Gereja itu.
Katanya Ayah pernah berutang budi padanya. Toh, Ayah masih bisa menolaknya. Yang aku dengar, Pastor itu tak pernah mempermasalahkan jika Ayah menolak tawarannya. Mungkin Ayah tak enak hati jika menolaknya.
Aku....
Aku yang jadi korban atas keputasan Ayah. Aku kerap kali diejek oleh teman-temanku. Mereka pikir Ayah sudah membela agama lain.
"Kenapa ayah kamu tak jadi penjaga masjid Agung saja?" tanya seorang temanku dulu. Pertanyaan sederhana, namun begitu menusuk jantungku.
Pagi itu, ibu masak sarapan yang cukup spesial. Nasi goreng sosis dan telur dadar. Mungkin karena malam nanti Ayah akan jaga malam. Kebiasaan yang tidak begitu istimewa bagiku. Selama 5 tahun bekerja di Gereja, ibu memang memberikan support spesial jika ayah jaga malam.
Hubunganku dengan Ayah jadi renggang selama 5 tahun. Aku hanya bicara seadanya saja. Itupun kalau Ayah yang  memulai pembicayaan. Aku merasa tak ada gunanya lagi bicara sama Ayah. Toh, iya sudah tak mau mendengarkan pendapatku. Jadi untuk apa aku mendengarkannya?
Setelah sarapan dan berkemas, kamu pun pamit pada Ibu. Ayah sudah menunggu di teras rumah dengan knalpot motor yang menyemburkan asap putih. Adik sudah duduk di tengah, mengapit pinggang ayah dengan riang. Hanya adikku yang jadi pelipur lara ayah. Adik perempuanku memang sangat dekat dengan ayah.
Setelah itu ayah membetot gas motornya perlahan. Sayup-sayup terdengar ibu mengucapkan salam dan pesan untuk berhati-hati.
Dalam perjalanan entah ada angin apa Ayah tiba-tiba berbicara.
"Kak, Ayah minta maaf ya. Ayah baru tahu kalau selama ini kamu menderita karena keputusan Ayah." kata ayah dengan suara parau.
Aku diam seribu bahasa. Aku merasa ada percikan air namun hangat di pipiku. Aku bertanya apakah cuaca kurang bersahabat pagi itu. Tapi, kulihat mentari sudah mulai menghapus embun dari pepohonan. Â
Aku menggamit tangannya yang kasar di depan gerbang sekolah. Aku melihat wajahnya sangat cerah dan bersih pagi itu. Entah kenapa aku juga jadi terbawa bahagia melihatnya.
Saat itu aku ingin menyampaikan juga permohonan maafku. Tapi, mulutku tercekat. Aku pikir, nanti saja saat di rumah aku sampaikan pada Ayah. Aku tak tersenyum sedikitpun. Aku langsung bergegas masuk ke dalam kelas.
***
Jam pelajaran pertama baru saja usai. Pak Hartono baru saja menyelesaikan topik tentang Toleransi di kelas PKN. Tiba-tiba suasana di luar kelas menjadi riuh. Beberapa orang mulai keluar. Aku yang penasaran pun ikut keluar dan mencari tahu sumber keributan.
Ternyata sumber keributan itu berasal dari kantor guru. Beberapa guru tengah berkumpul dengan wajah tegang. Yang lain saling berpelukan dan beberapa orang mulai menangis.
Aku penasaran dengan apa yang terjadi. Aku menerobos masuk ke dalam untuk mencari tahu ada apa gerangan.
Sebuah stasiun TV menayangkan siaran langsung dari TKP. Lokasi terjadinya bom di 3 gereja di Surabaya.
Aku tercekat, saat salah satu Gereja yang disebut adalah Gereja tempat ayah bekerja.
Sekelebat aku melihat sosok yang berpakaian seperti Ayah menyergap teroris biadab yang masuk menggunakan sepeda motor. Rekaman itu tak begitu jelas. Tapi entah kenapa aku yakin bahwa sosok itu adalah Ayah.
Tiba-tiba semua menjadi gelap. Lututku lemas dan tak bisa menopang tubuh, aku roboh dan ambruk di depan televisi.
Ketika aku sadar, aku baru paham kalau aku sudah ada di ruang kesehatan. Sekolah mulai kosong karena semua murid dipulangkan lebih cepat. Tak lama ibu datang menghabur dan memeluk aku dengan tangis yang tak tertahankan.
"Ayahmu menjadi martir"
Tiba-tiba pipiku lembab dan basah. Dadaku terasa lebih sesak. Aku menyesal belum menyampaikan kabar bahagia untuk Ayah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H