Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Ayahku Seorang Martir

30 Mei 2018   23:17 Diperbarui: 30 Mei 2018   23:32 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (hipwee.com)

Katanya Ayah pernah berutang budi padanya. Toh, Ayah masih bisa menolaknya. Yang aku dengar, Pastor itu tak pernah mempermasalahkan jika Ayah menolak tawarannya. Mungkin Ayah tak enak hati jika menolaknya.

Aku....

Aku yang jadi korban atas keputasan Ayah. Aku kerap kali diejek oleh teman-temanku. Mereka pikir Ayah sudah membela agama lain.

"Kenapa ayah kamu tak jadi penjaga masjid Agung saja?" tanya seorang temanku dulu. Pertanyaan sederhana, namun begitu menusuk jantungku.

Pagi itu, ibu masak sarapan yang cukup spesial. Nasi goreng sosis dan telur dadar. Mungkin karena malam nanti Ayah akan jaga malam. Kebiasaan yang tidak begitu istimewa bagiku. Selama 5 tahun bekerja di Gereja, ibu memang memberikan support spesial jika ayah jaga malam.

Hubunganku dengan Ayah jadi renggang selama 5 tahun. Aku hanya bicara seadanya saja. Itupun kalau Ayah yang  memulai pembicayaan. Aku merasa tak ada gunanya lagi bicara sama Ayah. Toh, iya sudah tak mau mendengarkan pendapatku. Jadi untuk apa aku mendengarkannya?

Setelah sarapan dan berkemas, kamu pun pamit pada Ibu. Ayah sudah menunggu di teras rumah dengan knalpot motor yang menyemburkan asap putih. Adik sudah duduk di tengah, mengapit pinggang ayah dengan riang. Hanya adikku yang jadi pelipur lara ayah. Adik perempuanku memang sangat dekat dengan ayah.

Setelah itu ayah membetot gas motornya perlahan. Sayup-sayup terdengar ibu mengucapkan salam dan pesan untuk berhati-hati.

Dalam perjalanan entah ada angin apa Ayah tiba-tiba berbicara.

"Kak, Ayah minta maaf ya. Ayah baru tahu kalau selama ini kamu menderita karena keputusan Ayah." kata ayah dengan suara parau.

Aku diam seribu bahasa. Aku merasa ada percikan air namun hangat di pipiku. Aku bertanya apakah cuaca kurang bersahabat pagi itu. Tapi, kulihat mentari sudah mulai menghapus embun dari pepohonan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun