Aku menggamit tangannya yang kasar di depan gerbang sekolah. Aku melihat wajahnya sangat cerah dan bersih pagi itu. Entah kenapa aku juga jadi terbawa bahagia melihatnya.
Saat itu aku ingin menyampaikan juga permohonan maafku. Tapi, mulutku tercekat. Aku pikir, nanti saja saat di rumah aku sampaikan pada Ayah. Aku tak tersenyum sedikitpun. Aku langsung bergegas masuk ke dalam kelas.
***
Jam pelajaran pertama baru saja usai. Pak Hartono baru saja menyelesaikan topik tentang Toleransi di kelas PKN. Tiba-tiba suasana di luar kelas menjadi riuh. Beberapa orang mulai keluar. Aku yang penasaran pun ikut keluar dan mencari tahu sumber keributan.
Ternyata sumber keributan itu berasal dari kantor guru. Beberapa guru tengah berkumpul dengan wajah tegang. Yang lain saling berpelukan dan beberapa orang mulai menangis.
Aku penasaran dengan apa yang terjadi. Aku menerobos masuk ke dalam untuk mencari tahu ada apa gerangan.
Sebuah stasiun TV menayangkan siaran langsung dari TKP. Lokasi terjadinya bom di 3 gereja di Surabaya.
Aku tercekat, saat salah satu Gereja yang disebut adalah Gereja tempat ayah bekerja.
Sekelebat aku melihat sosok yang berpakaian seperti Ayah menyergap teroris biadab yang masuk menggunakan sepeda motor. Rekaman itu tak begitu jelas. Tapi entah kenapa aku yakin bahwa sosok itu adalah Ayah.
Tiba-tiba semua menjadi gelap. Lututku lemas dan tak bisa menopang tubuh, aku roboh dan ambruk di depan televisi.
Ketika aku sadar, aku baru paham kalau aku sudah ada di ruang kesehatan. Sekolah mulai kosong karena semua murid dipulangkan lebih cepat. Tak lama ibu datang menghabur dan memeluk aku dengan tangis yang tak tertahankan.