Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tolak Tawaran Buzzer Penyebar Kebencian

28 Agustus 2017   12:17 Diperbarui: 28 Agustus 2017   12:42 1879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam dunia perbuzzeren sudah lumrah jika seseorang mendapatkan bayaran dari kampanye yang sedang dijalankan. Buzzer politikjuga sudah menjadi lumrah sejak media sosial digunakan untuk alat kampanye. Gak heran juga sih jika buzzer-buzzer kini menyasar ranah politik. Soalnya bayarannya legit terutama memasuki masa kampanye. Bener gak?

Saat pilpres 2014 yang lalu seorang teman bercerita ditawari untuk menjelek-jelekan salah satu capres. Tapi akhirnya ditolak. Bukan karena bayarannya yang tidak legit, tapi justru hati kecilnya yang menolak.

"Saya gak mau ngambil duit yang kelihatan halal tapi malah buat jelek-jelekin orang lain." tuturnya.

Persoalan halal haram sih balik lagi ke orang yang menerimanya. Tapi, jika cara yang dilakukannya sudah melanggar etika bahkan melanggar akhlak dalam beragama, bagaimana mau disebut uang halal jika caranya saja sudah tidak halal?

Tapi, ada juga sih buzzer yang menerima tawaran tersebut. 

Saya sih alhamdulillah belum pernah ditawari sebagai buzzer politik. Meskipun ada tawaran tentang politik biasanya saya tolak duluan. Kenapa? Soalnya kadang-kadang masalah politik ini bisa berujung pada putusnya pertemanan dan mekin keruhnya isu politk yang dibahas.

Bukannya saya anti politk lho ya. Saya malah pernah komplen bau pesing di depan kantor Gubernur DKI Jakarta saat Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur di Facebook. Eh tiba-tiba ada "teman" yang langsung bully wkwkwkwkwkw.

Dari pengalaman itulah saya jadi malas untuk membicarakan sosok yang sedang diagung-agungkan orang lain.

Jujur saya lebih suka pada penulis penulis opini yang bisa memaparkan data dan fakta secara imbang. Terlepas dia pro ataupun kontra terhadap sosok yang sedang dibahasnya namun dia tetap jujur dengan realita dan faktanya di lapangan.

Menanggapi sindikat saracen sih rasanya pegiat medsos sudah tidak aneh lagi. Bahkan situs-situs penebar kebencian yang mendulang puluhan jutaan dari iklan google adsense malah masih berkibar hingga saat ini. Rata-rata memang kerjaan mereka cuma editing judul dari media mainstream dan kemudian membuat klik bait yang membuat orang geram, marah dan langsung klik tombol share tanpa membaca isinya.

Nah, kaum sumbu pendek ini yang dimanfaatkan sama situs-situs penyebar kebencian.

Laporan Tirto menyebutkan bahwa situs-situs pendulang traffic yang kurang mengindahkan etika jurnalistik rata-rata bisa mendulang minimal 10 juta hingga 25 juta perbulan. Modalnya cuma domain, hosting yang tokcer dan beberapa admin yang bertugas mengkopi paste berita mainstream dan mengubahnya dengan judul yang bombastis.

Ini efeknya sih jelas kemana-mana. Coba deh tengok trending Yoututbe saat ini. Judulnya bener-bener mengecoh semua. Dan ini yang jadi kekesalan Youtuber-Youtuber Indonesia karena lapak trending kini sudah "kotor" dengan para pemburu dollar adsense dari konten-konten "enggak banget".

Saya sendiri sebagai buzzer biasanya melihat dulu produk apa yang akan dikampanyekan. Jika tidak sesuai biasanya saya tolak meskipun tawarannya menggiurkan. Urusan duit saya udah selesai. Saya lebih mementingkan kualitas konten dan juga etika dalam bersosial media. 

Tapi, saya pernah juga melakukan sedikit riset dengan menggunakan judul yang "memancing kaum sumbu pendek". Yap, bisa ditebak sih. Untuk satu hari saja traffic yang bisa tersedot dari judul bombastis bisa sampai 200.000 views hanya dalam sehari. Legit banget kan?

Baca juga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun