Pun termasuk obrolan tukang yang harus menjual telur untuk uang SPP anaknya pun sempat diganjar HL di Kompasiana.
Saya keranjingan Kompasiana, saya menulis dengan membabi buta di Kompasiana.
Terus terang saya harus banyak berterima kasih kepada Kang Pepih. Semua berkat reportase kang Pepih tentang mr X yang tertabrak kereta.
Kesempatan bertemu dengan kang Pepih malah baru terwujud pada tahun 2012 di sebuah pelatihan di Kemayoran. Saat yang sama saya juga bertemu mas Isjet, Herman Hasyim dan Zulfikar Akbar. Selebihnya saya tidak ingat. Nama terakhir masih aktif menulis juga menjadi salah satu kontributor di Pepnews bersama saya.
Pelatihan pertama yang saya dapatkan saat itu langsung dipraktikkan. Kang Pepih memberikan resep mencari berita ditengah pameran Otomotif di Kemayoran. Dan hingga saat ini saya praktikkan.
Resep itu tentu saja mudah disampaikan tapi sulit dipraktikkan...hahaha... namun setelah tulisan teman teman saat itu tayang di Kompasiana, saya baru memahami maksud unik yang disampaikan kang Pepih.
Kang Pepih lah guru menulis pertama saya secara non formal, dari blogshop itu pula saya banyak belajar menulis dengan baik. Salah satu tulisan tulisan renyah tentang jurnalistik yang selalu saya nikmati adalah tulisan mas Adian Saputra.
Nah, ketika saya mendengar kang Pepih membuat Pepnews sebetulnya selentingan undur diri Kang Pep itu terasa makin nyata.Â
Mungkin boleh saja kang Pepih dulu dicibir dengan Pepihsiana, namun setelah kang Pepih meluncurkan PepNews saya malah sedih karena saya melihat itu sebagai pertanda.
Tapi dugaan saya salah, ternyata bukan Pepnews yang membuat kang Pepih mengajukan pensiun dini yang sempat tertunda selama satu tahun.Â
Saya yakin pasti banyak orang yang merasa kehilangan dengan undur diri Kang Pep dari Kompas, utamanya Kompasiana.