Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Pengalaman Baru Setelah Satu Dasawarsa Tidak Naik KRL

19 Juni 2012   11:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah satu dasawarsa akhirnya Ahad (17/6) kemarin saya berkesempatan lagi naik Kereta Rel Listrik atau yang kini di kenal dengan Commuter Line. Saya naik dari St. Rawa Buntu, Serpong dengan tujuan St. Tanah Abang. Tiketnya cukup murah, hanya enam ribu rupiah saja. Meskipun naik pada hari libur tetapi penggunanya tetap banyak meski tidak terlalu padat seperti hari-hari kerja.

Sekitar tahun 2002 hingga 2003, KRL termasuk alat transportasi yang cukup sering saya gunakan ketika saya tinggal di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Baik ke Jakarta Kota ataupun ke Bogor hanya cukup merogoh ongkos sekitar dua ribu lima ratus rupiah. Dengan KRL saya terhindar dari macet dan bosan. Meskipun begitu saya harus kuat dengan bau badan dan bau keringat para pekerja kantoran, mahasiswa, pedagang dan sejumlah profesi lain yang menggunakan moda transportasi cepat ini.

Jam-jam KRL padat tentu saja bisa ditebak. Saat pagi ketika berangkat kantor dan saat sore hari pulang kantor. Yah untungnya di kereta masih banyak wanita modis yang berdandan manis. Setidaknya meskipun mencium bau keringat, mata masih bisa segar hehehe.

Pemandangan sepuluh tahun lalu berbeda jauh dengan Ahad lalu. Ternyata tidak ada wanita modis yang saya temui di jalur Serpong   - Tanah Abang ini. Kebanyakan justru adalah ibu-ibu yang mengandeng anak-anaknya bertamasya ke pasar Tanah Abang. Tujuan mereka sama seperti saya dan keluarga. Berburu pakaian kebutuhan menjelang tahun ajaran baru.

Kami berangkat pagi hari sekitar pukul delapan. Perjalanan dari Rawa Buntu hingga Tanah Abang hanya memakan waktu tiga puluh menit saja. Perjalanan pagi itu masih bisa saya nikmati karena AC kereta masih cukup terasa di pipi. Pemandangan di sepanjang perjalanan lebih banyak di warnai dengan jalan tol. Selebihnya setelah melewati taman pekuburan umum Tanah Kusir saya mulai menjumpai kawasan kumuh khas pesisir rel kereta seperti yang pernah saya saksikan di daerah Kalibata dan Pasar Minggu.

Saya menerawang jauh pada kejadian sepuluh tahun lalu. Saya dan seorang kawan pernah nekad naik KRL menuju Bogor tanpa membeli tiket. Akhirnya dengan terpaksa harus membayar uang tutup mulut pada petugas yang memeriksa karcis di dalam kereta. Saya ternyata tidak bakat menjadi penumpang gelap hehehe.

Hari itu saya menyaksikan juga seorang bapak di interogasi karena anaknya yang sudah berumur lebih dari tiga tahun tidak dibelikan tiket. Padahal peraturan di loket dan seluruh koridor kereta tertera bahwa anak dengan usia diatas tiga tahun keatas diwajibkan untuk membeli tiket. Saya kok merasa ini seperti di Dufan ya. Setiap anak yang berusia di atas tiga tahun harus dikenai tiket.

Untunglah petugas tadi cukup baik. Dia hanya menasihati sang bapak agar tidak lupa membelikan tiket untuk anaknya. Karena jika ikut peraturan seharusnya penumpang gelap dapat di denda sebesar lima puluh ribu rupiah sebagai tiket suplisi atau tiket pengganti.

Mungkin uang sebesar enam ribu rupiah tidak terlalu mahal. Yang membuatnya menjadi sengsara adalah tidak bisa menyimpan rasa malu karena di hakimi (baca: dinasihati) di depan puluhan pasang mata yang memandang sinis.

Akhirnya sampai juga di pasar Tanah Abang. Suasana pagi itu memang sudah cukup ramai. Kemudian kami mulai mencari-cari apa yang akan kami beli. Mengapa pasar Tanah Abang? Harga damai kualitas oke. Mungkin itu alasan utama mengapa saya dan keluarga lebih memilih kebutuhan pakaian langsung di pasar Tanah Abang.

Setelah puas berbelanja kemudian kami ke food court. Saya memesan tongseng daging sapi. Sayang rasanya sudah berbeda. Padahal tongseng di food court Blok A Tanah Abang ini dulu termasuk favorit saya. Mungkin kokinya sudah berbeda.

13401023091428749001
13401023091428749001

Setelah mengisi perut, kemudian kami melaksanakan sholat Dzuhur di Masjid. Letak Masjid ada di atap Blok A pasar Tanah Abang. Masjidnya sangat luas dan nyaman. Sehingga anak saya pun senang berlari kesana kemari di Masjid.

Setelah selesai berbelanja akhirnya kami kembali ke Stasiun Tanah Abang. Sayangnya ketika tiba disana hanya tinggal beberapa menit saja waktu untuk mengejar kereta yang akan berangkat ke Serpong. Akhirnya kami memutuskan untuk menunda keberangkatan. Kami harus menunggu kurang lebih sekitar 50 menit. Waktu yang cukup lama di sore hari yang padat.

Suasana Stasiun Tanah Abang sore itu cukup padat. Minimnya lahan untuk para penumpang yang menunggu kereta membuat banyak diantara mereka yang harus duduk di lantai. Bahkan kami pun melakukan hal yang sama karena memang tidak ada lagi tempat duduk yang tersisa.

Sambil menunggu kereta saya bermain bersama si kecil. Saya memutuskan untuk menunggu di atas. Karena jika menunggu di bawah sudah jelas tidak mungkin mendapatkan space untuk menunggu. Banyak penumpang yang berjubel menunggu kereta saat itu. Saya membayangkan bagaimana jika ini terjadi pada hari kerja? Bisa saja lebih ramai dibandingkan saat itu.

Sepuluh menit sebelum berangkat akhirnya kami turun. Menurut perugas penjaga pintu, kereta yang menuju Serpong akan datang di peron enam. Saya bahkan sudah lupa bahwa jalur kereta itu dinamakan peron hahahaa.

Sore itu matahari bersinar sangat terik. Sepuluh menit menunggu rasanya seperti seharian karena matahari yang bersinar dengan terang. Saat kereta datang seperti biasa warga Indonesia masih lebih mendahulukan yang masuk kereta dibandingkan yang keluar kereta karena berebut kursi. Jadinya tabrakan di pintu kereta tidak bisa di hindari.

Saya sendiri terpaksa harus melakukan hal yang sama karena harus mencari tempat duduk untuk tiga perempuan bersama saya. Istri saya, ibu mertua saya dan kakak ipar saya bersama dua anak kecil. Syukurlah tempat kami berdiri sangat tepat karena tidak terlalu banyak yang berjubel di tempat kami menunggu persis di bagian depan tangga turun.

Setelah mendapatkan tempat duduk kami cukup bernafas lega. Minimal sudah ada yang bisa beristirahat sambil menunggu kereta berangkat.

Satu persatu penumpang yang terlambat datang masuk ke dalam kereta. Sebagian besar memang perempuan yang membawa anak. Beberapa diantaranya malah membawa bayi. Akhirnya para lelaki harus mengalah memberikan tempat duduknya untuk mereka.

Memang masih ada saja lelaki yang bersikap masa bodoh dengan hal tersebut. Dia pura-pura tidak tahu kalau ada perempuan yang membawa anak yang lebih membutuhkan kursi. Hal ini lah yang saya lihat tidak berubah sama seperti sepuluh tahun lalu.

Perjalanan pulang terasa lebih berat karena penumpang yang naik lebih banyak. Sehingga AC kereta sama sekali tidak terasa. Untung saya bisa mengipasi anak saya dengan topinya. Anak saya sangat excited naik kereta.

Akhirnya kami bisa tiba di Stasiun Serpong dengan selamat. Ah perjalanan yang sangat mengesankan setelah sepuluh tahun lalu akrab dengan KRL. Ternyata meski sudah ada perbaikan tapi budaya para penumpang kurang lebih masih sama hehehe.

Salam @gurubimbel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun