Saya paling malas kalau harus nonton di awal premiere sebuah film. Selain harus mengantri lebih lama, kadang tidak mendapatkan posisi tempat duduk yang nyaman. Mayoritas kebiasaan para penonton memilih tempat duduk di tengah dan sedikit ke belakang, jauh dari layar. Tapi, saya juga pernah kok nonton di tempat duduk paling depan di pojok sebelah kanan. Rasanya kayak dapet ayam goreng tepung tapi bagian pantat ayam. Glek!
Makanya sekarang alternatifnya adalah ke bioskop kalau sudah beberapa minggu setelah launching film tersebut. Memang udah gak update lagi sih. Tapi kita bisa nonton dengan nyaman dan bisa juga memilih posisi yang paling kita sukai dengan lebih leluasa.
Jika ingin dapat tempat yang nyaman alias posisi tempat duduk yang sesuai dengan mata memandang, tentu harus datang lebih awal. Setelah itu menunggu dan membunuh waktu dengan berbagai kegiatan. Zaman digital seperti sekarang ini, hampir semua orang memiliki gadget. Tapi sayang isinya lebih banyak digunakan untuk sosial media dan hiburan semata. Sebagian kecil saja yang menyematkan e-book di gadgetnya.
Nah, ada baiknya bioskop menyediakan perpustakaan mini. Bisa juga memberikan quiz kecil-kecilan. Siapa yang bisa menjawab pertanyaan dari beberapa buku tertentu dia bisa nonton gratis. Tentu ide ini bagi sebagian orang bahkan bisa jadi bagi pemegang saham bioskop ternama akan dianggap sedikit konyol, tapi saya yakin bisa menggenjot budaya membaca di kalangan anak muda yang semakin jauh dari tradisi membaca buku. Hal tersebut bisa jadi pemicu agar anak muda sekarang tidak ketinggalan dengan pemuda lain di negara-negara ASEAN lainnya.
Pertanyaannya kenapa harus di bioskop? pernah merhatiin gak bejubelnya anak muda sekarang itu apa di perpustakaan daerah atau di bioskop tiap minggunya? Kalau ada investor gila kayaknya bakal keren kalau bioskop di sulap sekaligus menjadi perpustakaan juga. Atau lebih gila lagi perpustakaannya yang di sulap jadi bioskop yang memutar film-film terbaru box office. Gila apa keren yah? Sambil nunggu nonton, kita bakal lihat anak-anak Indonesia gemar membaca. Salah kita juga kenapa Perpustakaan lebih banyak bergaya kuno dengan cat dinding seperti rumah sakit. Udah jelas lah gak bakalan ada anak muda yang tertarik untuk mengunjunginya kecuali mepet banget pas ngerjain dan nyusun skripsi.
Kalau mau jujur budaya literasi anak muda Indonesia itu memprihatinkan banget man! Mereka lebih suka nonton acara gak jelas dan dibayar puluhan ribu daripada harus menuntut ilmu. Maka lahirlah alay-alay yang mendukung program Teve. Udah bisa seneng-senang, dapet duit, masuk tipi pulak! Terus ngapain harus repot-repot baca! Menurut data UNESCO yang di kutip dari Antaranews.com menyebutkan kalau Indonesia ternyata negara yang paling rendah minat bacanya diantara negara ASEAN lainnya.
Hasil survai organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara dengan minat baca masyarakat paling rendah di ASEAN.
Makanya sebelum membandingkan peringkat kecerdasan anak-anak muda Indonesia dengan negara lain, kita semestinya paham posisi kita ada dimana. Dengan minat baca yang lemah, sudah menjadi kelemahan terbesar dalam persaingan global. Rasanya sih bukan kelemahan lagi, tapi sebuah dosa besar. Inget kan wahyu pertama yang di turunkan dalam Al-Quran bahwa membaca itu adalah perintah Tuhan.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (QS. Al-Alaq:1)
Dengan hasil demikian yang memprihatinkan tentu harus ada perbaikan dan dorongan agar anak-anak muda sekarang ini bisa doyan baca dan bukan menjadi generasi nunduk (meminjam salah satu istilah dalam film Republik Twitter) gara-gara sosial media.
Okelah boleh kalau sekarng banyak fasilitas wifi gratis. Tapi anak muda minimal harus baca buku dulu misalnya sebagai syarat untuk mendapatkan password wifi gratis tersebut. Coba kalau hal ini di perhatikan dan di dukung pemerintah. So, pastilah kita bakal happy karena anak-anak muda kita ternyata doyan baca. Okelah kalau mereka merasa terpaksa pada awalnya, tapi toh lama-lama akan terbiasa juga. Tinggal berdoa aja mereka dapat hidayah atau tidak hehehe.
Kalau almarhum Presiden Soekarno masih ada tentu dia salah satu orang tua yang paling sedih. Mungkin dia akan meralat perkataannya yang fenomenal. Kalau ternyata 4 dari 10 pemuda Indonesia ternyata alay dan jauh dari buku, mana bisa mengguncang dunia?
Tak diragukan lagi buku adalah jendela pengetahuan, tapi bikin jendela tentu butuh dana. Dan dana itu dikucurkan dari rakyat untuk rakyat dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Makanya pemerintah harusnya mikir juga supaya bisa menyediakan perpustakaan yang keren biar anak-anak muda juga doyan datang ke perpustakaan.
Jadi, kalau sudah ada cefe buku kenapa nggak dengan bioskop yang juga menyediakan buku-buku terbaru agar bisa dibaca khalayak ramai terutama anak muda agar meningkatkan minat baca mereka. Tidak sulit untuk menyediakan mini library corner di pojokan setiap bisokop. Tidak perlu menggunakan space yang terlalu luas, karena buku bisa di simpan dimana saja.
Ternyata sulit yaa untuk bisa bersaing dengan negara lain jika budaya literasi saja sudah rendah. Jangan-jangan inilah sebab mengapa plagiasi marak, barangkali memang karena budaya literasi yang rendah sehingga seseorang yang buntu pikirannya lebih memilih mencomot tulisan orang lain yang dia anggap "wah".
Kalau mengingat siapa saja tokoh Indonesia yang gila buku ada dua orang yang selalu terngiang dan kisahnya selalu berkaitan dengan buku. Mereka adalah Gus Dur dan Jalaluddin Rachmat. Keduanya terkenal sangat gila buku. Bahkan Gus Dur pun dikisahkan selalu membawa buku meski pun saat pergi ke bioskop. Jadi kalau ada ide mewujudkan perpustakaan di bioskop itu barangkali inspirasinya berasal dari Gus Dur. Bukan hanya sekedar trend Gusdurian lah pastinya. Tapi trend anak muda berwawasan dan lebih gaul dengan membaca buku.
Jalaluddin Rachmat yang kini nyalon dari salah satu Partai dikenal juga sangat gemar membaca buku. Produktifitasnya dalam menulisnya pun tidak diragukan lagi. Bahasanya renyah dan membuat kita mudah memahami persoalan sulit. Baik Gus Dur dan Jalaluddin paham betul manfaat sebuah buku.
Oh yaa, saya juga jadi ingat perkataan Komaruddin Hidayat. Menguasai dua bahasa itu ibarat memiliki dua rumah. Artinya dengan membaca dengan menggunakan dua bahasa yang berbeda saja, kita seolah memiliki dua kampung halaman. Nah, hebat bukan dari sekedar membaca bisa merasa memiliki dua kampung halaman, apalagi jika seolah merasa memiliki dua istri hehehe.
Ngomong-ngomong sudah berapa banyak buku yang anda baca minggu ini? berapa banyak buku yang anda rencanakan untuk di baca tahun ini? Bisakah kita membuat resolusi untuk membaca minmal satu buah buku dalam satu bulan?
Salam Hangat
@DzulfikarAlala
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H