Dan lagi, tidak semua orang mengenal apa itu stoic/stoikisme/stoa yang jika ada berarti orang tersebut tidak akan menjadikan penilaian orang lain sebagai prioritasnya, tidak semua orang itu stoic. Ingat, betapa banyak lisan kita menyakiti hati orang lain akibat perbuatan kita yang menglorify sifat blak-blakan apa adanya, bisa jadi karena kita berprinsip begitu dengan dalih agar tidak munafik betapa banyak orang yang tersakiti karena lisan kita hingga trauma dan secara tidak sadar kita sudah membunuhnya tanpa menyentuh.
Rasulullah S.A.W bersabda:
“Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.” (HR Muslim)
Di dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa mencaci maki, menyakiti orang lain akan dibalas di neraka. Mencaci maki akan membuat sakit hati orang lain dan balasan yang ada adalah neraka jahannam.
Disisi lain orang yang menciderai sifat blak-blakan yang tidak mengerti adanya norma ini di lakukan oleh orang-orang yang membanggakan aibnya. Orang yang membanggakan aibnya (dengan dalih agar terlihat blak-blakan dan apa adanya) begitu banyak disukai oleh khalayak saat ini, mereka menganggap bahwa orang tersebut patut di jadikan contoh karena tidak munafik. Padahal Rasulullah S.A.W bersabda bahwa:
“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di paginya ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu – padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya.” (HR Bukhori Muslim). Rasulullah juga bersabda “Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah, kekal, dan Maha Penutup, Dia mencintai rasa malu dan sikap sitru (menyembunyikan aib)”. [Riwayat Abu Dawud dan Nasâ-i].
Nah dari sini kita bisa lihat bahwa Allah SWT mencintai orang yang menutupi aibnya. Lantas, apakah aib benar-benar sama sekali tidak boleh diceritakan? Tentunya ini tergantung kebijaksanaan kita dalam menanggapi hal tersebut. Kita boleh saja menceritakan aib kita kepada orang lain tetapi dengan catatan tidak membanggakannya apalagi sampai dengan menormalisasikan orang-orang yang bangga terhadap aibnya untuk dituruti. Ceritakan aib tersebut dengan penuh penyesalan agar menjadi pelajaran bagi kita semua.
Yang seperti kita ketahui di dalam Al-Qur’an juga banyak diceritakan kisah-kisah kesalahan seseorang salah satunya fir’aun (raja-raja Mesir) yaitu merupakan raja yang sangat zalim yang bisa kita jadikan pelajaran untuk hidup kita saat ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi diri yang blak-blakan (apa adanya) itu perlu, tergantung dari kebijaksanaan kita, apakah orang yang menerima sifat blak-blakan tersebut seberapa tahu dan mengenal tentang kita dan bisa menerima kejujuran yang ada pada penilaian kita ataupun tergantung situasi dan kondisi yang mengharuskan kita untuk jujur ataupun lebih baik diam agar tidak ada hati yang tersakiti.
Begitupun dengan menceritakan tentang aib kita, perlu dengan kebijaksanaan, yaitu menyesali perbuatan tersebut agar orang lain tidak sama dengan yang pernah kita alami. Bisa jadi dari pengalaman tersebut kita bisa menciptakan solusi dan membantu orang lain dalam hal menyelesaikan kesulitannya terhadap kebiasaan buruk (aib) yang dimiliki untuk menuju ke jalan yang lurus dan benar.
- Memfilter Diri
Filter (saring) berarti hanya menampilkan sisi yang menurut kita baik yang ada pada diri kita untuk orang lain. Memfilter diri disini bisa dilakukan oleh seseorang baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kita mengetahui bahwa tidak ada makhluk yang sempurna di dunia ini, tentunya setiap insan pasti ada yang pernah melakukan dosa begitu pula dengan kebaikan yang didapatnya. Menjadi apa adanya merupakan pilihan, dan memperlihatkan kelebihan (kebaikan) yang ada pada diri juga merupakan pilihan.
Orang yang memfilter diri cenderung takut jika kesalahan yang dia miliki terlihat orang lain, mengapa? Karena takut kesalahan tersebut di contoh oleh orang lain yang melihatnya kemudian dijadikan normalisasi kesalahan oleh mereka secara tidak sadar.
Misalnya, seorang Ustad dikenal merupakan orang yang bisa dikatakan lihai memfilter diri, otomatis banyak orang yang menjadikannya panutan, karena semua orang beranggapan bahwa seorang Ustad merupakan panutan, tetapi orang-orang yang ekstrem (berlebihan terhadap sesuatu) cenderung mengikuti seluruh perbuatannya (entah itu baik ataupun buruk).