Mulai 1 Agustus 2022,  Pemerintah Indonesia membuka lagi pengiriman Tenga Kerja Indonesia (TKI) atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Malaysia. Hal tersebut karena Indonesia 'percaya' kepada  Malaysia yang telah menyatakan berkomitmen untuk menggunakan sistem rekrutmen yang diinginkan oleh Indonesia.
Sebelumnya, pada 13 Juli 2022 lalu, Indonesia sempat menghentikan sementara pengiriman TKI ke Malaysia, termasuk ribuan orang yang direkrut untuk sektor perkebunan. Alasannya, Indonesia menganggap Malaysia telah melakukan pelanggaran dalam kesepakatan perekrutan pekerja yang ditandatangani kedua negara.
Namun, Pemerintah Indonesia pada akhirnya menyetujui permintaan Pemerintah Malaysia untuk kembali mengirimkan TKI ke Negeri Jiran. "Kepercayaan" Indonesia kepada Malaysia hingga membuka kembali penempatan TKI didasari oleh penandatanganan Joint Statement terkait implementasi nota kesepahaman (MoU) tentang Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia. Joint Statement tersebut ditandatangani oleh Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah dan Menteri Sumber Manusia Malaysia, Dato' Sri M. Saravanan Murugan, di Jakarta, Kamis (28/7/2022).
Jika beberapa waktu lalu keputusan Indonesia menghentikan sementara pengiriman TKI ke Malaysia atas dasar adanya pelanggaran MoU, lalu seberapa kuat "Joint Statement" implementasi MoU dapat 'mengikat' Malaysia hingga tidak lagi melanggar?
Lebih dari itu, kenapa Indonesia kembali mengirim TKI ke Malaysia ketika Malaysia sedang kekurangan tenaga kerja? Indonesia mau menolong Malaysia kah? Ah ....
Momentum Naikkan Posisi Tawar
Sesungguhnya, moratorium bukanlah solusi terbaik untuk perbaikan pelindungan pekerja migran, termasuk TKI yang bekerja di Malaysia. Sepanjang aparat penegak hukum belum/tidak mampu menutup seluruh 'jalur tikus' keberangkatan TKI ke Malaysia, moratorium justru malah berpotensi semakin banyak warga Indonesia yang berangkat ke Malaysia melalui jalur yang tidak semestinya.
Bagaimanapun, setiap warga negara mempunyai hak yang dijamin undang-undang untuk mendapatkan pekerjaan di seluruh dunia dan negara tidak boleh melarangnya.
Namun, kebijakan moratorium ketika Malaysia sedang kekurangan tenaga kerja, khususnya di sektor perkebunan adalah momentum strategis bagi Pemerintah RI untuk meningkatkan posisi tawar agar Malaysia lebih menghargai pekerja asal Indonesia.
Bayangkan seandainya Indonesia terus menahan (lebih lama lagi) ribuan orang yang direkrut untuk sektor perkebunan sehingga Malaysia 'meronta-ronta' karena tidak ada/kekurangan pekerja yang memanen sawit mereka, kemudian Indonesia berkata, "Hei ... jika elu mau mempekerjakan orang Indonesia .. harus bla ... bla ... bla ....."Â