H. Fahri Hamzah, S.E. Di pentas perpolitikan Indonesia selama sekitar sepuluh tahun terakhir, sepertinya tidak ada yang menyamai ketenaran politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini.
Sosoknya yang kontroversial sering membuat geram masyarakat karena tanpa tedeng aling-aling  berani melontarkan kritik kepada pemerintah secara terbuka dengan diksi yang sangat tajam.
Bahkan, melalui akun Twitter-nya, @Fahrihamzah, pria kelahiran 10 November 1971 ini pernah menyebut Jokowi sinting ketika pada kampanye pilpres 2014 lalu Capres Jokowi berjanji akan menetapkan tanggal 1 Muharram sebagai  Hari Santri.
Dalam menyikapi berbagai kebijakan pemerintah, termasuk ketika presiden membuat keputusan akan memindahkan ibu kota, di antara tokoh-tokoh oposisi di DPR sepertinya hanya Fahri Hamzah yang berani mengatakan Jokowi dan orang-orang disekelilingnya bodoh.
Rasanya terlalu banyak untuk dituliskan satu per satu lontaran kritik dengan bahasa yang cukup keras dan tajam, juga  pandangan-pandangan Fahri hamzah yang menuai  kontroversi .
Terlebih lagi pandangan atau penilaian terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bukan baru-baru ini saja pendapat Fahri Hamzah berbeda, bahkan bertolak belakang dengan pendapat publik ketika DPR ngotot mengesahkan UU KPK hasil revisi.
Sejak tahun 2011, Fahri sudah mengusulkan agar KPK dibubarkan. Selama delapan tahun, Fahri tetap konsisten mempertahankan pendapatnya bahwa KPK gagal mengemban tugas memberantas korupsi.
Meski banyak pendapatnya  yang secara pribadi saya tidak setuju, menurut saya Fahri adalah sosok yang cerdas.  Kritiknya terhadap berbagai produk kebijakan pemerintah cukup lugas, termasuk kritik kerasnya terhadap KPK. Argumentasinya cukup kuat walaupun sulit diterima, bahkan ditentang berbagai kalangan.Â
Fahri tetap konsisten menjaga dan mempertahankan sikapnya meski sering dicaci maki di media sosial. Dia tetap konsisten menempatkan dirinya sebagai tokoh antagonis yang selalu 'meyerang' pemerintahan Jokowi.
Ketika DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan UU KPK hasil revisi pada 17 September lalu, saya sempat berpikir bahwa Fahri sudah tidak lagi beroposisi. Apa yang dikatakan Fahri sama persis dengan pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang menyebut bahwa keberadaan KPK bisa menghambat investasi.
Saya sempat mengira bahwa Fahri sudah menjadi oportunis, menjadi penjilat penguasa. Terkait pengesahan UU KPK, Fahri  tidak hanya satu suara dengan pemerintah, tetapi malah seolah menjadi pembela Jokowi yang biasanya dia caci maki.
Namun ternyata saya salah.  Memang  seperti dalam UU KPK hasil revisi itulah pandangan Fahri  tentang cara 'menguatkan' KPK. Dalam hal ini, sebagai pimpinan DPR, justru Fahri-lah sepertinya yang berhasil membuat  pemerintah menyetujui RUU KPK yang dirancang DPR.
Jika pada akhirnya Fahri Hamzah satu suara dengan pemerintah, bukan karena dia tidak lagi berani beroposisi di akhir masa bakti, tetapi karena adanya kepentingan yang bertemu, yaitu sama-sama berkepentingan untuk 'menguatkan' KPK.
"Kalau harus memilih antara berkata benar atau menghibur orang, pilihlah berkata benar, karena kebenaran tetap, sementara sikap orang berubah. Ada banyak yang terluka oleh kata yang benar, tetapi luka itu akan sembuh oleh keikhlasan, baik bagi yang berkata atau yang mendengar."
Kalimat tersebut ditulis Fahri Hamzah dalam bukunya, 'Gelora Kata-Kata'. Begitulah kira-kira seorang Fahri Hamzah dalam berkata-kata. Dia berani dengan lantang berkata-kata karena meyakini bahwa apa yang dia katakan adalah benar meski nyatanya banyak yang terluka akibat kata-katanya.
Dalam perjalanan karir politiknya sebagai anggota DPR, Fahri pernah dipecat oleh partainya sendiri. Namun hebatnya, dia bisa menang gugatan di pengadilan, bahkan PKS yang harus membayar ganti rugi Fahri sebesar Rp 30 miliar.
Saat ini, Fahri Hamzah telah berkemas-kemas untuk meninggalkan Kompleks Parlemen, Senayan setelah selama tiga periode sejak Pemilu 2004 menjadi anggota DPR RI.
Parlemen akan kehilangan sosok kritis yang kontroversial setelah Fahri tidak lagi menjadi anggota DPR RI periode 2019-2023. Adapun Fadly Zon menurut saya tingkat 'kenyiyirannya' masih kalah kelas dengan  FaHri hamzah.
Sekali lagi, secara pribadi saya banyak yang tidak setuju dengan pendapat Fahri Hamzah, tetapi saya juga mengakui bahwa ada juga  kritik yang dilontarkan Fahri benar dan perlu. Saya yakin, seorang Fahri Hamzah tidak pernah  punya niat menghancurkan negerinya sendiri.
Demokrasi di negeri ini tidak akan mati tanpa ada kritikan Fahri yang sering membuat banyak orang sakit hati, tetapi DPR RI tanpa Fahri sepertinya akan sunyi.
Terima kasih Pak Fahri ...
Terima kasih atas segala 'kenyiyiranmu' selama ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H