Akhir-akhir ini, Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakuakan KPK banyak mendapat sindiran dari beberapa pihak. Tak hanya kalangan politikus di DPR, Presiden Jokowi pun juga melontarkan sindiran yang sama.
Dalam pidato kenegaraan di DPR RI, 16 Agustus lalu, Jokowi mengatakan, penegakan hukum yang keras harus didukung. Tapi keberhasilan bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan. Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum bisa dicegah; berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan.
Kritik serupa juga dilontarkan oleh Calon Pimpinan Komisi Pemberatasan Korupsi (Capim KPK) Â yang saat ini sedang mengikuti seleksi untuk menjadi Pimpinan KPK periode 2019-2023.
Ketika Capim KPK dari unsur kejaksaan, Â Johanis Tanak menilai langkah penanganan korupsi dengan melakukan OTT adalah langkah yang keliru, saya sempat memprediksi bahwa orang ini tidak akan lolos seleksi.
Namun saya salah. Johanis Tanak adalah satu di antara 10 nama Capim KPK yang dikirimkan ke DPR oleh Presiden Jokowi untuk disaring menjadi  lima nama yang nantinya akan jadi Pimpinan KPK periode ke-5.
Jika melihat indikasi upaya melemahkan KPK oleh presiden dan DPR (presiden tidak mau mencoret capim bermasalah -- DPR mau merivisi UU KPK), sepertinya Johanis Tanak yang tidak setuju adanya OTT ini akan mulus lolos menjadi Pimpinan KPK.
Lalu, apa jadinya jika  KPK tidak  lagi melakukan OTT?
Mengutip artikel Kompas berjudul 'Capim KPK Ini Sebut OTT Tindakan Keliru' yang tayang pada Rabu (28/8) lalu, apabila terpilih  menjadi pimpinan KPK, Johanis Tanak akan memberi masukan  kepada pimpinan lain bahwa sebaiknya KPK jika sudah mengetahui ada seseorang yang akan melakukan tindak pidana penyuapan atau korupsi, yang bersangkutan dipanggil dan ditanya kemudian membuat surat yang dikirim ke seluruh lembaga penegak hukum, termasuk Mahkamah Agung.
Sungguh, sebuah penalaran yang tidak bisa dicerna oleh akal yang waras (menurut saya). Lha wong orang mau korupsi kok dipanggil dan ditanya. Apa ada maling yang mengaku terus terang, 'iya pak, saya akan mencuri.'
Seseorang yang dipanggil dan ditanya tersebut sudah tentu tidak akan mengatakan akan menyuap/menerima suap atau akan korupsi dan sudah pasti akan siap membuat surat untuk di kirim ke seluruh lembaga penegak hukum.
Memangnya kalau sudah dipanggil, ditanya, dan membuat surat trus seseorang tersebut dijamin tidak melakukan tindak pidana penyuapan atau korupsi? Atas dasar apa KPK percaya bahwa seseorang tersebut tidak akan korupsi? Apa karena sudah dipanggil, ditanya, dan disuruh membuat surat?