UAS juga menjelaskan bahwa ceramah yang diviralkan itu adalah kajian subuh Sabtu di Masjid An-Nur Pekanbaru, Riau sekitar tiga tahun yang lalu. Ceramah tersebut dilakukan dalam forum tertutup dan hanya diikuti oleh umat muslim saja. UAS berargumen, apa yang disampaikan merupakan  bentuk penjelasan tentang akidah umat muslim.
Seusai bertemu MUI pusat di Jakarta, Rabu (21/8), UAS Â kembali memberikan klarifikasi bahwa ceramahnya dilakukan dalam forum tertutup yang hanya diikuti oleh umat muslim saja dan ia tidak sedang dalam kapasitas memperbandingkan agama, tetapi menjelaskan akidah umat Islam.
Dari beberapa kali klarifikasi UAS, saya melihat ada kata kunci yang terus diulang, yaitu 'forum tertutup'. UAS (menurut saya) seolah ingin mengatakan bahwa ia tidak bisa dipidana seperti Ahok karena ceramahnya tidak dilakukan 'di muka umum' sebagaimana bunyi Pasal 156a KUHP yang digunakan hakim untuk memenjarakan Ahok.
Menurut pendapat saya pribadi (tentu subyektif sekali), memang ada perbedaan yang cukup mendasar antara tuduhan penistaan agama oleh Ahok dan oleh UAS. Jika sama-sama menggunakan Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, UAS akan lolos dari jerat hukum.
Ceramah UAS disampaikan di dalam masjid, tidak ada umat Kristen dan Protestan yang mendengarnya secara langsung, sedangkan pernyataan Ahok tentang Surat Al-Maidah 51 pada 27 September 2016 disampaikan di hadapan  masyarakat di Tempat Pelelangan Ikan, di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Perbedaan lain yang cukup aneh yaitu, video Ahok tentang Al-Maidah 51 langsung viral ketika itu juga  setelah Buni Yani mengunggahnya di media sosial,  sedangkan video UAS yang mengaitkan salib dengan jin kafir baru viral tiga tahun kemudian dan saat ini belum diketahui siapa yang mula-mula memviralkannya.
Pertanyaannya, bagaimana penyidik memaknai kata 'di muka umum' dalam Pasal 156a KUHP sebagai batasan larangan menghina dan merendahkan? UAS bisa dihukum seperti Ahok apabila kata 'di muka umum' dimaknai dengan  'pernyataan yang disampaikan dalam kondisi orang memungkinkan mendengarkan apa yang disampaikan'.
UAS sendiri mengakui bahwa setiap ceramah pasti ada jamaah yang memvideokan dan ia tidak bisa melarangnya. Isi ceramah yang mestinya untuk intern umat muslim tentu akan bisa didengar oleh umat agama lain apabila ada orang atau pihak yang sengaja meyebar dan memviralkannya.
Dengan demikian, dalam kasus ini kunci persoalannya bukan pada isi ceramah UAS, tetapi pada tanda tanya untuk tujuan apa video tersebut diviralkan dan siapa yang memviralkan. UAS tidak akan dilaporkan, jin kafir tidak akan menjadi buah bibir seandainya isi ceramah tersebut hanya didengarkan (dan cukup didengarkan) oleh jamaah di Masjid  An-Nur Pekanbaru -- tiga tahun yang lalu.
Prediksi saya, proses hukum (seandainya diproses) kasus tuduhan penistaan atau penodaan agama oleh UAS akan berakhir dengan dihukumnya seseorang yang dinyatakan (dan akan didakwa) dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) Â [Pasal 28 ayat (2) UU ITE].
***
Setiap agama mempunyai pandangan teologis yang berbeda-beda. Pun demikian pandangan teologis umat Kristen tentang Tuhan dan salib sangat berbeda, bahkan bertolak belakang dengan pandangan dan keyakinan umat Islam. Dari dulu kala, itu sudah jamak kita ketahui bersama.