Setelah mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono  mengusulkan agar pemilihan presiden kembali dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Ketua DPR, Bambang Soesatyo juga melemparkan wacana yang sama.
Usulan Bambang agar pilpres dikembalikan lagi ke MPR tersebut disampaikan dalam diskusi rilis survei nasional oleh Cyrus Network di Ashley Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, sebagaimana dilansir Kompas, Jumat (9/8/2019).
Hampir sama dengan alasan Hendropriyono yang menyebut pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat justru menimbulkan kegaduhan, Bambang juga menilai, selain rumit dan berbiaya mahal pelaksanaan Pilpres 2019 Â mengakibatkan polarisasi tajam di tengah masyarakat.
Secara teknis, upaya untuk merealisasikan usulan agar presiden kembali dipilih MPR tentu tidak terlalu sulit karena  cukup dilakukan dengan cara mengamandemen Undang Undang Dasar (UUD).
Namun, proses ke arah itu pasti tidak mudah karena diamandemennya UUD 1945 hingga presiden  dipilih langsung oleh rakyat justru atas dasar ketidakpercayaan masyarakat terhadap wakilnya yang duduk di DPR/MPR untuk memilihkan presiden.
Sebagian masyarakat (dan elit politik) tentu akan menolak jika MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara yang punya kewenangan memilih dan memberhentikan presiden karena tidak ingin presiden diturunkan di tengah jalan seperti Gus Dur dulu.
Lebih dari itu, saat ini masyarakat sepertinya sudah bergembira karena bisa memilih presiden secara langsung. Rakyat seolah-olah sudah punya kedaulatan dalam memilih presiden meski sebenarnya rakyat tidak benar-benar berdaulat dalam pemilu.Â
Kedaulatan rakyat dalam pemilu/pilpres telah diserahkan kepada partai politik/gabungan partai politik untuk memilihkan calon presiden sehingga yang dipilih rakyat dalam pilpres adalah capres yang dipilihkan parpol.
Secara pribadi, saya setuju jika presiden kembali dipilih MPR. Akan tetapi, alasan saya bukan sekadar soal kerumitan, berbiaya mahal, dan menimbulkan keterbelahan menjadi dua kubu  yang saling berseteru di tengah masyarakat seperti yang disampaikan Bambang dan Hendropriyono.
Alasan secara prinsip kenapa presiden sebaiknya kembali dipilih oleh MPR, menurut saya, adalah soal sistem demokrasi kita. Bukahkan demokrasi yang kita anut adalah demokrasi Pancasila? Â Bukankah sila ke-4 Pancasila berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan?
Menurut Prof. RM Sukamto Notonagoro, Demokrasi Pancasila berarti kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang ber-Ketuhanan YME, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka, adalah tepat pasal 1 ayat (2)  UUD 1945  berbunyi Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat karena demokrasi Pancasila (merujuk pendapat Prof. Notonegoro) adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, bukan dalam permusyawaratan/perlangsungan. Namun sayangnya, UUD kita saat ini bukan lagi UUD 1945, tetapi UUD 2002  (UUD 1945 hasil amandemen keempat pada tahun 2002).
Oleh karena itu, menjadi masuk akal apabila seorang Hendropriyono dan Ketua DPR Bambang Soesatyo mengusulkan agar presiden kembali dipilih MPR karena pendapat tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila, bahkan jika presiden kembali dipilih MPR justru sejatinya kita  kembali ke Pancasila.
Demokrasi tidak mengenal istilah menang-kalah. Pemilu bukan pertandingan tinju atau pertandingan sepakbola yang kadang menimbulkan huru-hara hingga mengakibatkan pendukung fanatiknya luka-luka, bahkan ada yang meninggal dunia.
Pemilu yang kononnya merupakan pesta demokrasi mestinya berakhir (dan berproses) dalam suasana  suka cita, siapa pun di antara kontestan yang terpilih sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara dengan gelar Presiden Indonesia.
Namun nyatanya, apa yang disampaikan Hendropriyono dan Bambang tentang kegaduhan dan polarisasi tajam di tengah masyarakat, khususnya pada gelaran Pilpres 2014 dan 2019 adalah fakta yang kasat mata.
Memang, tujuan perubahan UUD 1945 sebagai salah satu tuntutan reformasi 1998 waktu itu adalah untuk menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Akan tetapi, apabila perubahan UUD 1945 khususnya tentang proses pemilihan presiden justru mengakibatkan perjalanan kehidupan bangsa menjadi kurang baik, pendapat Ketua DPR agar Cyrus Network (dan lembaga survei yang lain -- menurut saya) melakukan uji publik untuk mengetahui keinginan mayoritas rakyat tentang proses pemilihan presiden sepertinya perlu ditindaklanjuti secara serius.
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana partai politik mencetak kader yang  duduk di kursi DPR/MPR betul-betul bisa mewakili suara, kehendak, dan kepentingan rakyat.Â
Sepanjang MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD masih banyak diisi oleh politikus busuk yang sama sekali tidak merepresentasikan suara rakyat, usulan agar presiden kembali dipilih MPR sepertinya tidak akan dapat terwujud karena rakyat tidak akan pernah percaya kepada para wakilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H