Maka, adalah tepat pasal 1 ayat (2)  UUD 1945  berbunyi Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat karena demokrasi Pancasila (merujuk pendapat Prof. Notonegoro) adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, bukan dalam permusyawaratan/perlangsungan. Namun sayangnya, UUD kita saat ini bukan lagi UUD 1945, tetapi UUD 2002  (UUD 1945 hasil amandemen keempat pada tahun 2002).
Oleh karena itu, menjadi masuk akal apabila seorang Hendropriyono dan Ketua DPR Bambang Soesatyo mengusulkan agar presiden kembali dipilih MPR karena pendapat tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila, bahkan jika presiden kembali dipilih MPR justru sejatinya kita  kembali ke Pancasila.
Demokrasi tidak mengenal istilah menang-kalah. Pemilu bukan pertandingan tinju atau pertandingan sepakbola yang kadang menimbulkan huru-hara hingga mengakibatkan pendukung fanatiknya luka-luka, bahkan ada yang meninggal dunia.
Pemilu yang kononnya merupakan pesta demokrasi mestinya berakhir (dan berproses) dalam suasana  suka cita, siapa pun di antara kontestan yang terpilih sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara dengan gelar Presiden Indonesia.
Namun nyatanya, apa yang disampaikan Hendropriyono dan Bambang tentang kegaduhan dan polarisasi tajam di tengah masyarakat, khususnya pada gelaran Pilpres 2014 dan 2019 adalah fakta yang kasat mata.
Memang, tujuan perubahan UUD 1945 sebagai salah satu tuntutan reformasi 1998 waktu itu adalah untuk menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Akan tetapi, apabila perubahan UUD 1945 khususnya tentang proses pemilihan presiden justru mengakibatkan perjalanan kehidupan bangsa menjadi kurang baik, pendapat Ketua DPR agar Cyrus Network (dan lembaga survei yang lain -- menurut saya) melakukan uji publik untuk mengetahui keinginan mayoritas rakyat tentang proses pemilihan presiden sepertinya perlu ditindaklanjuti secara serius.
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana partai politik mencetak kader yang  duduk di kursi DPR/MPR betul-betul bisa mewakili suara, kehendak, dan kepentingan rakyat.Â
Sepanjang MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD masih banyak diisi oleh politikus busuk yang sama sekali tidak merepresentasikan suara rakyat, usulan agar presiden kembali dipilih MPR sepertinya tidak akan dapat terwujud karena rakyat tidak akan pernah percaya kepada para wakilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H