Meski sudah dihapus dan dalam UU No 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) tak lagi disebut, Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) atau yang sekarang diistilahkan e-KTKLN masih menjadi momok  yang menakutkan bagi TKI yang pulang cuti.
Kasus terbaru yang menjadi korban KTKLN/e-KTKLN adalah  seorang TKI atau sekarang istilahnya PMI (Pekerja Migran Indonesia) berinisial BS asal Blitar, Jawa Timur yang akan  berangkat  ke Singapura melalui Bandara Juanda, Surabaya  pada Selasa (2/7/2019) lalu.
Berikut ini kronologi TKI BS yang gagal terbang gara-gara KTKLN/e-KTKLN, sebagaimana dituturkan Novia Arluma, aktivis Humanitarian Organisation of Migran Economyc (HOME) Singapura yang mendapat pengaduan dari BS.
Ketika akan check-in di Bandara Juanda, BS ditanya KTKLN dan sempat dibawa ke kantor LP3TKI Surabaya yang ada di bandara. Karena tidak punya, petugas tersebut menyarankan  BS untuk membuat KTKLN yang kantor pembuatannya lumayan jauh dari bandara, yakni di daerah Wonokromo, Surabaya.Â
Akibat pencekalan tersebut BS gagal terbang ke Singapura dan tiketnya hangus. Bahkan, karena merasa kecewa dengan perlakuan petugas tersebut, BS memutuskan pulang ke Blitar.Â
BS mengaku sudah enam tahun bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Singapura. Sebelum pulang cuti, BS sudah bertanya kepada KBRI Singapura tentang dokumen yang dibutuhkan bila mau cuti ke Indonesia.Â
KBRI Singapura memberitahukan bahwa dokumen yang dibutuhkan adalah paspor, work permit, dan kontrak kerja/ Kartu Pekerja Indonesia Singapura (KPIS). Ketiga dokumen tersebut  sudah lengkap dibawa PMI yang bersangkutan.Â
Ternyata di bandara dia dicegah karena tidak punya KTKLN/e-KTKLN. Lalu saya coba menghubungi pihak LP3TKI untuk menanyakan tentang kejadian tersebut dan diberitahukan bahwa KTKLN memang masih dibutuhkan bagi pekerja yang bekerja di luar negeri termasuk PMI di Singapura.Â
Novia menilai, kasus pencekalan PMI gara-gara KTKLN yang masih terus terjadi ini karena tidak adanya sinkronisasi kebijakan dan kesamaan informasi antara perwakilan pemerintah di luar negeri dan pemerintah di dalam negeri. Akibatnya, sebuah kebijakan yang tujuan sebenarnya untuk melindungi tetapi dalam praktiknya malah mempersulit dan merugikan PMI itu sendiri.
"Lebih dari itu, petugas di bandara dalam menjalankan kebijakan soal KTKLN/e-KTKLN ini juga patut dipertanyakan. Petugas melakukan random checking. Katakanlah nasib-nasiban. Ada yang ditanya, ada yang tidak. Ada PMI yang tidak punya KTKLN dan tidak punya KPIS tapi lolos karena tidak ditanya apa-apa. Dalam keadaan seperti ini siapa yang menjadi korban? Kami butuh perlindungan!" tegas Novia.
***