Peringatan Tahun Baru Imlek 2019 yang berdasarkan penanggalan Tionghoa  merupakan tahun babi tanah memberi pelajaran berarti tentang makna toleransi. Baik toleransi sebagai sesama warga yang hidup di sebuah negara bernama Indonesia maupun toleransi sebagai sesama manusia yang hidup di planet Tuhan bernama bumi.
Hal ini terkait adanya penolakan perayaan imlek dan Cap Go Meh dari sejumlah ormas di Bogor dan Pontianak beberapa waktu yang lalu.
Perayaan imlek 2019 yang jatuh pada tanggal 5 Februari memang sudah berlalu meski masih akan ada perayaan Cap Go Meh pada 19 Februari nanti . Upaya penolakan dari pihak-pihak yang kurang setuju juga sudah clear.
Oleh karena itu, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengungkit, apalagi  membesar-besarkan isu yang jika diibaratkan api malah  seharusnya dipadamkan. Tulisan ini hanya akan membahas sudut pandang pemahaman  tentang sebuah keyakinan dan kekhawatiran (atau ketakutan) akan bahayanya sebuah keyakinan terhadap keyakinan orang (kelompok) lain.
Saya sempat tepuk jidat, mengelus dada, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala daya upaya mencoba menahan tawa ketika membaca berita penolakan perayaan imlek dari sejumlah ormas karena kononnya bisa membahayakan akidah umat muslim.
Masak iya sih sampai segitunya. Bukankah akidah -- kepercayaan dasar, keyakinan pokok  suatu ajaran agama yang kita yakini itu letaknya di hati. Kalau sudah yakin dalam hati, terpatri di sanubari, tak kan ada kekuatan apa pun yang bisa menggoda karena lingkar cinta kepada Yang Maha Kuasa itu letaknya di dalam jiwa.
Ya, keyakinan itu letaknya di dalam, bukan di luaran. Keyakinan tidak berada di udara bebas yang mudah terkena polusi, terkontaminasi virus-virus atau bangkai tikus yang dikemas menyerupai nasi bungkus. Â Akidah tidak akan berubah -- tak kan goyah, jika hati tetap tegak berdiri meyakini ajaran agama kita sendiri.
Oleh karena itu, bagi saya pribadi, perayaan Imlek dan Cap Go Meh tidak akan membawa pengaruh apa-apa terhadap akidah dan keyakinan  terhadap agama Islam yang  saya yakini kebenarannya.
Bagi masyarakat pada umumnya, menurut saya, seorang muslim tidak akan berubah  menjadi  beragama Khonghucu ketika mengucapkan  Gong Xi Fa Cai dan akidahnya tidak akan terancam sepanjang tidak mengikuti ritual keagamaan yang mereka lakukan.
Logikanya, seorang non muslim tentu tidak akan serta merta menjadi muslim ketika mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri kepada umat Islam yang sedang merayakan hari rayanya.
Namun, akan menjadi lelucon yang tidak lucu tentunya jika seorang non muslim ikut sholat Jumat, misalnya. Pun demikian jika ada seseorang yang mengaku muslim tetapi ikut kebaktian di gereja atau sembanyang di kuil, tentunya itu bukan sekadar soal rusaknya akidah karena yang  lebih tepat untuk dipertanyakan adalah  tingkat kewarasannya.
Mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek Gong Xi Fa Cai menunjukkan kita setuju dengan hari raya tersebut yang berarti setuju dengan agama mereka. Kata siapa? Jangan sok tahu dech ...
Saya mengucapkan Selamat tahun Baru Imlek kepada kawan-kawan yang beretnis Cina. Saya menulis di dinding Facebook Gong Xi Fa Cai, tapi yang saya ucapkan, yang saya tulis itu adalah bentuk kemesraan kepada sesama, bukan bentuk pengakuan terhadapa agama mereka, apalagi sampai meyakininya.
Pengakuan saya adalah pengakuan terhadap entitas mereka sebagai manusia, bukan karena agama atau etnis mereka. Bagaimanapun, mereka adalah manusia yang mempunyai hak yang sama untuk hidup di bumi Tuhan yang bernama Indonesia. Mbok ya ayo kita belajar bertoleran. Mbok ya biarkan saja to.
Ketika kita mengucapkan Selamat Menempuh Hidup Baru kepada teman yang menikah, apakah kita harus setuju dengan perempuan yang  dipilih oleh teman kita itu untuk dijadikan istrinya? Lho, istrimu kok si Marni, seharusnya sama dengan istriku, Mirna! Aku tidak mau ngucapin selamat karena istri kamu bukan Mirna, masak begitu? Ucapan kita itu ucapan kemesraan, Bro! Kemesraan kepada teman, kepada sesama manusia.
Bagi saya, agama itu ibarat istri. Kita tidak perlu mempertandingkan istri karena istri itu bagian dari nyawa kita, istri adalah aurat hidup kita. Cintailah istri kita dan tidak perlu mempertandingkan dengan cinta orang lain. Aku akan selalu mencintai istriku dan sudah pasti akan kubiarkan engkau mencintai istrimu dengan cintamu sendiri. Aku tak kan mengganggu istrimu dan kau jangan coba-coba ganggu istriku, titik!
Toleransi berasal dari kata toleran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, toleran artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Toleransi adalah  sifat atau sikap toleran. Bertoleransi berarti bersikap toleran. Menoleransi berarti mendiamkan atau membiarkan.
Masak iya sih apabila kita membiarkan seseorang mencintai istrinya itu akan membahayakan cinta kita kepada istri kita sendiri. Ah, lelaki macam apa kau ini ha ...ha ... ha ...
Masak iya sih apabila kita mendiamkan atau membiarkan mereka merayakan tahun baru atau beribadat menurut keyakinan mereka maka akidah kita terancam? Terlepas dari persoalan politik yang dikaitkan dengan situasi menjelang pilpres saat ini, rasanya kok berlebihan kekhawatiran (atau ketakutan) seperti itu.
Islam itu rahmatan lil alamin, rahmat untuk seluruh alam, bukan hanya rahmat untuk manusia, tapi untuk seluruh alam, seluruh makhluk-Nya. Bahkan rahmat untuk setan. Biarkan setan bertugas sebagaimana ditugasi Tuhan.
Apabila kepada setan saja kita perlu bertoleransi -- membiarkan dia (setan) menjalankan tugas sebagaimana yang diberikan Tuhan, sudah semestinyalah kita berlapang dada membiarkan (menoleransi) sesama manusia untuk meyakini dan beraktivitas sesuai keyakinannya. Terlebih lagi, manusia-manusia tersebut hidup di bumi yang sama, bumi Indonesia tercinta.
***
Salam damai untuk kita semua ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H