Lelaki tua, sang penempuh jalan Sufi //foto:dokumen WAPRI
Cerita ini dikisahkan oleh Ahmad Arif Afandi, salah satu aktivis Komunitas Solidaritas Wajah Pribumi (WAPRI) ketika dalam perjalanan pulang setelah menyampaikan amanah menyerahkan bantuan untuk Mbah Kedah di Kawedusan Ponggok Blitar, Minggu, 24 April 2016.
*****
Dalam perjalanan pulang, tepatnya di timur perempatan Poluan Srengat Blitar, di tikungan Grogol sebelah utara mushola, aku dan seorang temanku menjumpai tukang becak, seorang lelaki tua tertidur di atas becaknya.
Karena penasaran, aku pun menghampirinya dan terjadilah sebuah dialog yang sangat menyentuh hati, bahkan bisa membuat kita meneteskan air mata.
“Mbah, lagi mangkal ya?” Aku mencoba menyapa.
“Tidak, Mas, ini lagi istirahat.”
“Bisa mengantar saya, Mbah?” Tanyaku.
“Mohon maaf, tidak bisa Mas, ini saya lagi sakit,” jawab kakek tua itu.
“Sakit apa, Mbah?”
“Sakit perut, Mas.”
“Sudah minum obat belum, Mbah?”
“Sudah, Mas.”
“Apa saya antar ke Puskesmas atau ke Dokter untuk berobat?”
Aku menawarkan diri mengantar berobat.
“Terimakasih, Mas. Biarlah, gak apa-apa. Ini saya lagi diuji sakit oleh Allah, tapi saya punya kenyakinan akan dapat obat dari Allah.
Aku hanya bisa menghela napas, lalu aku bertanya lagi,“Mbah, njenengan sudah makan?”
“Sudah, Mas. Ini pun makanan saya masih ada, belum habis,” jawab kakek tua tersebut sambil menunjukan kaleng susu yang di dalamnya masih ada sisa kuah dan dedaunan yang direbus.
“Lha itu cuma sayur lo, Mbah. Tidak ada nasinya.” Aku menimpali.
Kakek tua itu berkata,”Saya tidak makan nasi, Mas, hanya makan dedaunan.”
“Njenengan beli ya, Mbah?”
“Tidak, Mas, saya masak sendiri, sayurnya ngambil dari kebun. Ini saya sambil tirakat.”
“Njenengan aslinya mana? Saya antar pulang ya?”
“Tidak usah, Mas. Saya berasal dari Bandulan Sukun Malang, RT dan RW sudah lupa karena dari tahun 2004 saya sudah keluar dari rumah setelah bercerai dengan istri saya. Saya sudah berkelana sampai Jombang, Ngawi dan Blitar, ya naik becak ini, Mas.”
“Apa gak punya anak, Mbah?” Aku kembali bertanya.
“Punya, Mas. Ada di Malang.”
“Kenapa gak pulang ke tempat anak, Mbah?”
“Tidak, Mas.Saya tidak mau merepotkan anak.”
Kemudian, secara tiba-tiba dalam hatiku timbul satu ide. Aku pun kembali bertanya pada kakek tua itu.
“Mbah, punya uang gak? Kalau punya, biar saya belikan obat untuk persediaan.”
Kakek itu merogoh semua sakunya dan hanya menemukan satu butir obat magh dan lima keping uang recehan lima ratusan, sehingga uangnya hanya Rp.2.500.
“Hanya ini yang saya punya, Mas,” kata kakek tua itu sambil menunjukan uangnya kepadaku.
“Mbah, uang segitu apa cukup untuk makan dan beli obat?,” tanyaku.
“Insya Allah cukup, saya hidup dari Allah. Berjalan karena Allah dan mati kembali kepada Allah. Insya Allah, Allah senantiasa melindungi dan memberi saya rizki untuk menyambung hidup. Saya berjalan hanya mengharap ridho-Nya.”
Masya Allah ..., merinding jiwaku mendengarnya.
Namun, aku masih mencoba ingin tahu lebih jauh tentang beliau. Aku lalu mengeluarkan sebungkus rokok tanpa korek.
“Mbah, mohon maaf, saya mau merokok tapi tak punya korek, mau beli tapi tak pegang uang. Mohon maaf sekali ya, Mbah, bagaimana bila uang itu saya minta untuk beli korek. Apakah diijinkan?” tanyaku.
Lalu, kakek tua berambut gondrong itu mengeluarkan kembali uang dari dalam sakunya. Uang receh 2500 Rupiah.
“Injeh, Mas, sumonggo,” sambil menggenggam tanganku, beliau menaruh uangnya di telapak tanganku.
Air mataku sudah mulai menetes
“Mbah ikhlas uang ini untuk saya?”
“ Lillahi ta’ala saya ikhlas, Mas. Ini rezeki untuk mase dari Allah SWT. Monggo diterima.”
Air mataku pun tumpah, tak mampu aku bendung lagi. Badanku gemetar, merasa mendapatkan ilmu yang sangat luar biasa, yang tak mungkin diberikan secara langsung oleh para guru di sekolahan.
Dalam senduku, seakan hati ini menuntun jemariku untuk mengeluarkan dompetku dan mengambil lima lembar uang seratus ribuan, seperti jumlah yang kakek berikan padaku. Lalu aku ulurkan kepada sang kakek itu.
“Mbah, ini rezeki dari Allah yang saya emban dari zakat sahabat-sahabatku. Semoga dapat memberi manfaat buat panjenengan dalam perjalanan.”
Kakek tua itu tercengang, sambil berusaha menolak pemberianku. Namun, aku mencoba menjelaskan bahwa uang itu adalah amanah dari zakat sahabat-sahabat yang sebagian memang menjadi hak para sabilillah dan ibnu sabil.
“Terimalah, Mbah. Itu rezeki dari Allah, saya hanya perantara semata.”
Alhamdulillah, akhirnya diterima. Aku pun memperkenalkan diri dari Komunitas Solidaritas Wajah Pribumi. Ternyata, kakek tua itu bernama Mbah Arif. Aku menyebutnya "SANG PENEMPUH JALAN SUFI"
Sebelum kami berpisah dengan kakek tersebut, beliau menyampaikan salam untuk para sahabat-sahabat di komunitas WAPRI.
Semoga, dari kisah ini kita bisa mendapat satu ilmu yang sangat bermanfaat untuk kita semua. Ilmu tentang sebuah keikhlasan. Kesadaran untuk saling berbagi kepada sesama. Ilmu yang langsung kita dapat dari sebuah Universitas Kehidupan yang tak mungkin kita dapatkan dari bangku sekolah formal.
Semoga kakek ini dan kita semua senantiasa dirahmati Allah di manapun berada.
Semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya.
Amin Allahuma Aamiinnn...
***
mbah (bahasa Jawa) = kakek
njenengan/panjenengan = kamu
sumonggo/monggo = silakan
injeh/iyo = iya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H