Demo TKI Pelaut di depan gedung BNP2TKI Jln. Jend. MT Haryono ,Jakarta harini (10/7) yang menuntut BNP2TKI bertanggungjawab atas KTKLN ‘bodong’ yang diterbitkannya serta menuntut penyelesaian kasus TKI ABK yang gajinya belum dibayar , diwarnai dengan aksi lompat pagar.
Aksi lompat pagar tersebut sama dengan aksi yang dilakukan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri pada saat awal-awal diangkat menjadi menteri tenaga kerja. Namun persamaan tersebut hanya sebatas pada ‘sama-sama lompat pagar’.
Perbedaan dari  aksi yang dilakukan oleh seorang Menteri dan para TKI tersebut sangatlah bertolak belakang
Menteri Tenaga Kerja M.Hanif Dhakiri pada Rabu pagi (5/11/2014) melakukan aksi lompat pagar pada saat melakukan sidak ke salahsatu PPTKIS di Jln. Asem Baris Raya ,Gang Z ,Tebet , Jakarta dan setelah berhasil masuk dengan cara berpijak di jok motor lalu melompati pagar, sang Menteri dapat melihat bahwa tempat penampungan TKI tersebut jauh dari standar yang ditetapkan oleh Kementrian Tenaga Kerja berdasarkan Permen 07 Tahun 2005 tentang Standarisasi Penampungan TKI.
Logika otak yang ‘waras’ tentu dapat berpikir …
Jika ingin penampungan TKI layak huni dan memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah maka…
Jangan serahkan urusan TKI kepada swasta…!!
Negara harus mengambil alih program pengiriman dan penempatan TKI ,agar setiap warga negara yang menjadi TKI mendapatkan jaminan kepastian hukum dan jaminan perlindungan dengan cara segera mengganti dan atau mempercepat proses revisi UU No 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN yang selama ini dijadikan payung hukum ‘swatanisasi dan komersialisasi’ TKI.
Jika hal tersebut yang dilakukan maka  seorang Menteri tidak perlu lagi melakukan aksi ‘bodoh’ yang bernuansa pencitraan meski pada akhirnya kalangan pekerja/buruh sadar bahwa sampai hari ini hanya ‘lompat pagar’ lah prestasi besar seoarang Menteri Tenaga Kerja yang bernama Hanif Dhakiri.
Sementara aksi lompat pagar gedung BNP2TKI oleh TKI ABK merupakan aksi lanjutan dari aksi-aksi sebelumnya yang dilakukan dalam rangka berjuang menuntut hak kepada lembaga negara yang seharusnya mampu berfungsi ‘menyelesaikan masalah’ sebagaimana termaktub dalam pasal 95 UU 39/2004 ayat (2) huruf (a) angka (1), bukan sekedar Lembaga ‘wasit’ atau ‘Badan Mediasi Ompong’.
Lagi lagi.. Logika otak yang ‘waras’ tentunya juga bisa berpikir..