Negara modern saat ini hampir menyatakan bahwa negaranya adalah negara demokrasi berdasarkan hukum, tentu ini juga di iringi oleh negara Indonesia yang sejak lahir menegaskan bahwa negara hukum yang demokratis. Ketika sebuah negara hukum yang demokratis maka sudah seharusnya  hukum sebagai pelindung akan kepentingan demokrasi atau demokrasi harus berdasarkan hukum dimana keduanya tidak dapat di pisahkan satu sama lainnya yang disebut sebagai demokrasi Konstitusional.
Indonesia tentunya sebagai negara hukum yang demokratis sudah bergeser  kearah yang kurang pas sebagai negara hukum yang demokratis, hal ini dapat di lihat dari penyelenggaran demokrasi yang tak berdasarkan hukum atau sebaliknya. Sebutlah dalam penyelenggaraan pemilihan yang sangat tidak jujur dan adil atau pembentukan hukum yang juga tidak aspiratif dalam membuat hukum namun di jadikan hukum sebagai pijakan untuk mengeluarkan kebijakan yang seakan- akan mendapatkan legitimasi dari masyarakat.  Hal ini yang kemudian di sebut sebagai Autocratic legalism, sifat otoriter menggunakan hukum sebagai pelaksanaan walaupun bertentangan Undang-Undang di atasnya
Autocratic legalism sebenarnya berawal dari sikap otokrasi yang dalam menjalankan agendanya, menggunakan hukum untuk melegitimasi perbuatannya. Meminjam pendapat Kim Lane Scheppele mengemukakan, untuk mengenali gejala awal autocratic legalism, dapat diketahui dengan melihat seseorang yang telah dipilih melalui demokrasi melakukan serangan terhadap institusi yang berpotensi mengawasi dirinya saat menjalankan pemerintahan kelak.pada dasarnya, merupakan ambisi dari pada otoktrat. Di mana ambisi itu, tentu saja, tidak sejalan dengan apa yang dicita-citakan masyarakat secara umum yang menginginkan A namun kebiajakan yang di ambil B Â dengan hal yang demikian yang disebut dengan negara demokrasi yang otoriter.
Otoriter menggunakan hukum sebagai acuan bertindak dalam mengeluarkan suatu kebijakan sudah tidak di hindari hal ini sebenernya sudah tercermin dalam beberapa Undang-Undang sifat  di buat tidak memperhatikan aspirasi dari rakyat yang lebih mengarah kepada mengarah otoriter yang di balut dengan hukum  yang seakan akan mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
Terdapat beberapa Undang-Undang yang  cendrung autocratic legalism Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang beraroma tidak mencerminkan aspirasi masyarkat luas, dimana hal ini senada dengan apa yang dalam putusan MK Undang -Undang  ini tidak meaningfull particpation, selain itu hal ini juga tidak berpedoman ke pada Undang-Undang pembentukan peraturan Perundang -undangan sebagai pijakan hukum dalam membentuk Undang-Undang agar tidak keluar dari rambu-rambu hukum yang pada akhirnya melahirkan kepentingan penguasa bukan kepentingan rakyat.
Selain itu juga terdapat Undang -Undang revisi tentang KPK yang memasukkan dalam rumpun eksekutif yang sebelumnya independen menjadi tidak independen lagi, hal ini dapat di lihat hadirnya dewan pengawas dalam kelembagaan KPK yang harus izin terlebih dahulu saat melakukan penyadapan, penggeledehan dan penyitaan. Terlebih dalam konteks kepegawaian, pegawai KPK kini berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara dengan demikian  maka harus tunduk terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara dikarena sudah beralih Status menjadi ASN. Hal semacam ini dengan iming- iming menggunakan hukum secara perlahan menghilang prinsip dasar pemberantasan Korupsi yang harus memiliki lembaga komisi pemberantasan korupsi yang independen.
Undang-Undang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara terkhusus masa jabatan kepala otoritas IKN yang di angkat oleh presiden setelah berkonsultasi dengan DPR dalam pengangkatannya. Ini juga menimbulkan problematika tersendiri  dengan masa jabatan yang tak terbatas hal ini dapat dilihat dalam Pasal 9 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam masa jabatan yang sama". Frasa "dalam masa jabatan yang sama", berpotensi membuka ruang selebar-lebarnya, agar Kepala dan Wakil Otorita IKN yang sama dapat dipilih kembali untuk batas periode yang tidak ditentukan.
Jika mengacu beberapa Undang- Undang yang di buat yang bernuansa autocratic legalism seakan memberikan penegasan bahwa Undang-Undang inj mengarah ke arah otoriter yang di bungkus dengan  Undang-Undang agar mendapatkan legitimasi sebagai negara hukum.dengan melihat beberapa hal yang ada di atas ini maka kedepannya perlu adanya kontrol dari lembaga lain untuk mengontrol hasil dari Undang yang di buat oleh presiden dan DPR apakah bersifat untuk kepentingan pribadi dan golongannya atau memang sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat.
Mahkamah Konstitusi penjaga
Tentu lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai kontrol terhadap undang-Undang yang bersifat otoriter atau bertentangan dengan Undang -Undang Dasar menjadi penting di utamakan. Mengingat pembentukan Undang - Undang yang dibuat secara serampangan dengan cara yang begitu cepat.
Lembaga ini sebenarnya telah ada di Indonesia lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang memberikan kontroling terhadap prodak hukum yang di hasilkan oleh Presiden dan DPR dengan melakukan kontrol secara aktif untuk menjaga sifat otoriter yang menggunakan hukum, dengan menerapkan Judical Activism dalam menangani yang berkaitan dengan pengujian Undang-Undang. Brian Gallian mendefinisikan Judicial Activism sebagai kontrol atau pengaruh oleh lembaga peradilan terhadap institusi politik dan administratif. Dengan melihat situasi yang demikian di harapkan MK hadir untuk memberikan keadilan dalam penyelenggaraan negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI