Mohon tunggu...
Fifkaindi Fifkaindi
Fifkaindi Fifkaindi Mohon Tunggu... Wiraswasta - karyawan swasta

blogger minati IT dan buku

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ubah Dulu Paradigma Pembangunan Indonesia

13 Maret 2014   00:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Koes Plus benar bahwa hidup di Indonesia tak ubahnya hidup di surga. Segalanya serba mudah dan menyenangkan. Laut yang luas dikelilingi ribuan pulau membuat perairan Indonesia tak ubahnya kolam yang nyaman untuk diarungi dan tempat yang nyaman bagi aneka ragam kehidupan hewani dan hayati. Penduduknya tidak perlu bersusah payah menangkapnya karena hewan laut ini justru datang menghampiri. Atau jika tidak, mereka cukup bermodal kail dan jala---teknologi paling sederhana dalam menangkap ikan.

Selain perairan, daratan Indonesia juga terkenal kesuburannya. Lagi-lagi kelompok musik tahun 70-an ini menggambarkan dengan cerdas. Berkat kesuburan tanahnya, menancapkan tongkat bahkan batu, berubah menjadi tanaman. Terlalu sedikit tanah di kolong langit ini sesubur tanah Nusantara. Indonesia memang tak ubahnya sepotong kehidupan surga yang diturunkan ke bumi.

Kesuburan tanah Indonesia mengundang banyak sanjungan. Katanya bumi Indonesia itu gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Artinya kekayaan alam Indonesia begitu berlimpah sehingga masyarakatnya hidup makmur dan tenteram.

Sanjungan lain yang tidak kalah membanggakan: Indonesia adalah zamrud khatulistiwa. Indonesia adalah negara bak batu permata (zamrud) yang indah dan hijau. Indah berkat pesona alamnya dan hijau lantaran hutan yang membentang di sekujur tubuhnya. Mulai dari kepulauan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara dan sebagian tanah Jawa. Apalagi posisi Indonesia berada di garis equator (khatulistiwa).

Kita wajib bersyukur dan bangga atas kekayaan alam Indonesia. Sukar mencarikan negara yang mampu menandingi Indonesia dalam hal kesuburan tanah, keelokan alam, keanekaragaman flora dan fauna, komposisi luas daratan dan lautan begitu proporsional, kesejukan iklimnya, keramahan penduduknya, dan letak geografis yang sangat strategis di antara dua benua dan dua samudera.

Sayang kebanggaan tersebut membuat kita pongah dan terlena. Kita kemudian berpikir dan berkeyakinan bahwa SDA adalah modal utama Indonesia untuk menjadi negara besar dan kuat di kancah global. Sialnya lagi, kebanggaan berlebihan terhadap SDA akhirnya mengkristal dan menjadi paradigma pembangunan. Buktinya, pembangunan negara ini senantiasa bertumpu dan mengandalkan kepada kekayaan dan kekuatan SDA.

Kita berlomba-lomba menambang dan membongkar isi perut bumi: minyak bumi, nikel, tembaga, emas, batubara, biji besi, baik oleh perusahaan maupun penambang konvensional. Setelah menguras habis isinya, mereka membiarkan pertambangan mangkrak tanpa ada good will untuk memulihkan apalagi menyembuhkan luka geologis yang mereka perbuat. Mereka meninggalkan luka menganga di perut bumi pertiwi.

Tapi kita terlanjur bangga Indonesia tercatat sebagai pengekspor batubara nomor 2 di dunia meski cadangan batubaranya hanya no 16 (5.370 juta ton). Sementara Tiongkok yang cadangan batubaranya nomor 3 di dunia (114.500 juta ton) memilih mengimpor batubara dari Indonesia.

Di tempat lain, kita sibuk membabat hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua juga Nusa Tenggara secara membabi buta. Penggundulan hutan (deforestasi) dan perusakan hutan (degradasi) dengan dalih menjaga devisa negara dimaklumi bahkan direstui. Hutan dan lahan gambut disikat habis demi perluasan lahan kelapa sawit atau menjaga pasokan permintaan kayu gelondongan oleh pihak luar.

Kita menepuk dada karena Indonesia memiliki areal 7 juta hektare yang sanggup memproduksi minyak sawit 19,2 juta ton. Indonesia menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia! Kita berkecak pinggang sebagai pengekspor kayu gelondongan (log) yang sangat diperhitungan di kancah internasional.

Akibat deforestasi, degradasi, pertambangan nan serampangan, dan konversi lahan gambut untuk alasan komersial, Indonesia diganjar pelbagai bencana: banjir, tanah longsor, kekeringan, abrasi juga erosi. Kita kemudian sadar apa yang kita lakukan selama ini adalah kesalahan besar. Kekayaan alam yang diberikan Tuhan selama ini adalah amanah untuk dijaga dan dilestarikan. Kita lupa, pongah, dan terlena bahwa semua SDA ini adalah titipan Tuhan. Bukan untuk dieksplotasi, dijarah apalagi diperkosa. Tololnya lagi, kita menjadikan kekayaan SDA sebagai paradigma dan pondasi dalam membangun negeri ini.

Maka, untuk menyelamatkan SDA Nusantara, khusus hutan dan kekayaan hayati yang melingkupinya, andai saya presiden, saya lebih dulu mengubah paradigma pembangunan yang sudah berjalan. Pembangunan Indonesia jangan lagi bertumpu pada kekayaan SDA tetapi pada kekuatan sumber daya manusia (SDM). Pembangunan Indonesia harus lebih mengandalkan kepada teknologi, inovasi, kreativitas, dan jaringan manusianya.

Lihatlah Jepang, Korea Selatan, Finlandia, Taiwan atau Singapura. Mereka membuktikan bahwa teknologi, inovasi, kreativitas, dan jaringan membuat mereka menjadi negara yang diperhitungkan di percaturan internasional. Padahal SDA-nya kalah jauh dari Indonesia padahal mereka pengekspor bahan baku dari negara-negara seperti Indonesia.

Perhatikan pula bagaimana Larry Page dan Sergey Brein membangun Google, Mark Zuckerberg mendirikan Facebook, Jan Koum membuat WhatsApp, Kevin Systrom meracik Instagram atau Dong Nguyen dengan Flappy Bird-nya? Apakah mereka sukses lantaran menjual kelapa sawit, kayu, batubara, nikel, bijih besi, tembaga atau minyak bumi? Tidak. Google, Microsoft, Facebook, Samsung, Sony, Yahoo, Oracle, IBM, WhatsApp, Twitter juga Instagram sukses menjadi perusahaan kampium dunia berkat kepiawaian meracik dan menjual teknologi, inovasi, dan kreativitas sekaligus ditopang networking yang cantik.

Setelah mengubah haluan pembangunan dari basis SDA ke pembangunan berbasis SDM, langkah praktis-realistis berikutnya adalah pemerintah bersama rakyat harus berkomitmen untuk menyelamatkan hutan Nusantara. Tanpa komitmen, kemauan, dan kerja keras untuk mewujudkannya, rencana besar dan sebagus apapun hanya gagah di atas kertas dan  lembek di lapangan.

Komitmen ini mengejawantah dalam banyak ranah. Pemerintah yang cerdas tentunya akan menyiapkan payung dan penegakan hukum. Pemerintah tidak tebang pilih dalam menerapkan dan menegakkan hukum kepada pelaku perusakan hutan. Jangan sampai hukum tajam ke bawah (masyarakat kecil) tetapi tumpul ke atas (pejabat, aparat, dan perusahaan).

Setelah payung hukum digariskan, pemerintah menyosialisasikan komitmen tersebut kepada masyarakat. Pemerintah mengakampanyekan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat dalam memonitor dan menginvestigasi perusahaan-perusahaan yang berandil besar dalam penggundulan dan perusakan hutan. Juga,
komoditas-komoditas berbasis SDA seperti kelapa sawit dan pulp and paper misalnya, wajib mengantongi izin dan lolos uji dari pengundulan dan perusakan hutan yang ditetapkan lembaga semacam Forest Stewardship Council (FSC).

Tidak kalah penting, kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, pemerintah mengedukasi pentingnya melestarikan hutan bagi kelangsungan hidup republik ini. Tapi mengedukasi tanpa memerhatikan pemenuhan perut (ekonomi) mereka adalah percuma. Pemerintah harus mencanangkan dan menggerakan roda ekonomi masyarakat setempat dengan mengedepankan sumber daya lokal tetapi tanpa merusak hutan.

Sebagai contoh, bila di kawasan hutan tersebut terdapat emas putih (baca: air terjun), pemerintah menyiapkan sarana dan fasilitas pendukung dan menyulap air terjun ini sebagai daerah wisata. Dengan memaksimalkan potensi daerah wisata otomatis akan menggerakan kincir-kincir perekonomian wilayah sekitarnya.

Atau bila masyarakat sekitar hutan selama ini mengandalkan hasil rotan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pemerintah tidak bisa serta merta menghentikan kegiatan mereka. Lebih arif bila pemerintah mengawal dengan memberikan pembinaan berkesinambungan sehingga perajin menghasilkan produk-produk berbasis rotan bernilai jual jauh lebih tinggi daripada produk sebelumnya. Apabila kebutuhan ekonomis penduduk lokal terpenuhi, saya yakin seyakin-yakinya mereka akan menyambut dengan tangan terbuka program pelestarian hutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun