Kita menepuk dada karena Indonesia memiliki areal 7 juta hektare yang sanggup memproduksi minyak sawit 19,2 juta ton. Indonesia menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia! Kita berkecak pinggang sebagai pengekspor kayu gelondongan (log) yang sangat diperhitungan di kancah internasional.
Akibat deforestasi, degradasi, pertambangan nan serampangan, dan konversi lahan gambut untuk alasan komersial, Indonesia diganjar pelbagai bencana: banjir, tanah longsor, kekeringan, abrasi juga erosi. Kita kemudian sadar apa yang kita lakukan selama ini adalah kesalahan besar. Kekayaan alam yang diberikan Tuhan selama ini adalah amanah untuk dijaga dan dilestarikan. Kita lupa, pongah, dan terlena bahwa semua SDA ini adalah titipan Tuhan. Bukan untuk dieksplotasi, dijarah apalagi diperkosa. Tololnya lagi, kita menjadikan kekayaan SDA sebagai paradigma dan pondasi dalam membangun negeri ini.
Maka, untuk menyelamatkan SDA Nusantara, khusus hutan dan kekayaan hayati yang melingkupinya, andai saya presiden, saya lebih dulu mengubah paradigma pembangunan yang sudah berjalan. Pembangunan Indonesia jangan lagi bertumpu pada kekayaan SDA tetapi pada kekuatan sumber daya manusia (SDM). Pembangunan Indonesia harus lebih mengandalkan kepada teknologi, inovasi, kreativitas, dan jaringan manusianya.
Lihatlah Jepang, Korea Selatan, Finlandia, Taiwan atau Singapura. Mereka membuktikan bahwa teknologi, inovasi, kreativitas, dan jaringan membuat mereka menjadi negara yang diperhitungkan di percaturan internasional. Padahal SDA-nya kalah jauh dari Indonesia padahal mereka pengekspor bahan baku dari negara-negara seperti Indonesia.
Perhatikan pula bagaimana Larry Page dan Sergey Brein membangun Google, Mark Zuckerberg mendirikan Facebook, Jan Koum membuat WhatsApp, Kevin Systrom meracik Instagram atau Dong Nguyen dengan Flappy Bird-nya? Apakah mereka sukses lantaran menjual kelapa sawit, kayu, batubara, nikel, bijih besi, tembaga atau minyak bumi? Tidak. Google, Microsoft, Facebook, Samsung, Sony, Yahoo, Oracle, IBM, WhatsApp, Twitter juga Instagram sukses menjadi perusahaan kampium dunia berkat kepiawaian meracik dan menjual teknologi, inovasi, dan kreativitas sekaligus ditopang networking yang cantik.
Setelah mengubah haluan pembangunan dari basis SDA ke pembangunan berbasis SDM, langkah praktis-realistis berikutnya adalah pemerintah bersama rakyat harus berkomitmen untuk menyelamatkan hutan Nusantara. Tanpa komitmen, kemauan, dan kerja keras untuk mewujudkannya, rencana besar dan sebagus apapun hanya gagah di atas kertas dan lembek di lapangan.
Komitmen ini mengejawantah dalam banyak ranah. Pemerintah yang cerdas tentunya akan menyiapkan payung dan penegakan hukum. Pemerintah tidak tebang pilih dalam menerapkan dan menegakkan hukum kepada pelaku perusakan hutan. Jangan sampai hukum tajam ke bawah (masyarakat kecil) tetapi tumpul ke atas (pejabat, aparat, dan perusahaan).
Setelah payung hukum digariskan, pemerintah menyosialisasikan komitmen tersebut kepada masyarakat. Pemerintah mengakampanyekan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat dalam memonitor dan menginvestigasi perusahaan-perusahaan yang berandil besar dalam penggundulan dan perusakan hutan. Juga,
komoditas-komoditas berbasis SDA seperti kelapa sawit dan pulp and paper misalnya, wajib mengantongi izin dan lolos uji dari pengundulan dan perusakan hutan yang ditetapkan lembaga semacam Forest Stewardship Council (FSC).
Tidak kalah penting, kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, pemerintah mengedukasi pentingnya melestarikan hutan bagi kelangsungan hidup republik ini. Tapi mengedukasi tanpa memerhatikan pemenuhan perut (ekonomi) mereka adalah percuma. Pemerintah harus mencanangkan dan menggerakan roda ekonomi masyarakat setempat dengan mengedepankan sumber daya lokal tetapi tanpa merusak hutan.
Sebagai contoh, bila di kawasan hutan tersebut terdapat emas putih (baca: air terjun), pemerintah menyiapkan sarana dan fasilitas pendukung dan menyulap air terjun ini sebagai daerah wisata. Dengan memaksimalkan potensi daerah wisata otomatis akan menggerakan kincir-kincir perekonomian wilayah sekitarnya.
Atau bila masyarakat sekitar hutan selama ini mengandalkan hasil rotan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pemerintah tidak bisa serta merta menghentikan kegiatan mereka. Lebih arif bila pemerintah mengawal dengan memberikan pembinaan berkesinambungan sehingga perajin menghasilkan produk-produk berbasis rotan bernilai jual jauh lebih tinggi daripada produk sebelumnya. Apabila kebutuhan ekonomis penduduk lokal terpenuhi, saya yakin seyakin-yakinya mereka akan menyambut dengan tangan terbuka program pelestarian hutan.