Salah satu kata yang kerap membuat saya "kena mental" adalah ketika anak menjawab "bosan bu" saat ditanya kenapa kelihatan badmood. Rasanya saya langsung merasa was-was dan berpikir apa yang salah sampai anak saya merasa bosan.
Ya, simple memang, cuma satu kata, bosan. Tapi dari situ kita seperti bisa menangkap makna besar dibaliknya, seperti keputusasaan, rasa lelah yang teramat sangat, amarah yang terpendam, ketidakpedulian, kekecewaan, dll.
Jika demikian, biasanya saya langsung mengajak anak saya untuk berbicara dari hati ke hati, namun tetap dengan bahasa yang sederhana, agar ia bisa memahami maksud saya, sebagai ibunya.
Jangan sampai momen bicara dari hati ke hati, yang niatnya baik justru membuat anak semakin merasa bosan dan muak lalu enggan terbuka dengan ibunya.
Jadi, walau was-was, tetap upayakan untuk tenang dan santai ketika mencari tahu penyebab rasa bosan sang anak.
Bosan, Sepele Namun Bisa Menjadi Tanda Awal Kondisi Mental Anak
Secara eksplisit, rasa bosan memang suatu hal yang wajar dialami oleh siapa saja, termasuk anak. Biasanya dikaitkan dengan kejenuhan akibat rutinitas yang itu-itu saja.
Namun, secara implisit, ternyata dibalik rasa bosan, ada tersirat hal-hal yang bisa mengganggu kesehatan mental anak, seperti keputusasaan, kekecewaan, amarah, penyesalan, lelah, bentuk protes, dll.
Ternyata makna bosan tidak sesederhana yang dianggap orang-orang selama ini. Jika selama ini rasa bosan dianggap hal yang biasa saja, namun kini sepertinya rasa bosan harus lebih diwaspadai, terutama pada anak-anak.
Seperti beberapa waktu lalu, ini terjadi pada salah satu teman saya, dimana ketika pulang kerja dia terkejut mendapati tembok pagar samping rumahnya nyaris jebol akibat pukulan martil.
Teman saya pun menginterogasi sang anak yang berusia 13 tahun, perihal kenapa tembok pagar bisa jebol dan siapa yang melakukannya.
Sang anak dengan mimik takut menjawab "aku ma...". Teman saya bertanya apa alasan sang anak melakukan hal tersebut, dan dijawab dengan singkat "bosan ma..."
Tentu saja teman saya terkejut dengan jawaban sang anak yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Ia pun berusaha untuk menginstropeksi diri atas pengasuhan yang selama ini dilakukan bersama anak.
Teman saya menyadari, sebagai orangtua tunggal pasca berpisah dengan suami, membuatnya harus ekstra sibuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga banyak waktu yang hilang bersama anak.
Mungkin, bagi beberapa orang, hal ini biasa saja, tapi sebenarnya dari sinilah awal kesehatan anak mulai terganggu. Orangtua yang aware akan bisa memahami bahwa ini tidak boleh dibiarkan. Artinya, harus segera ditangani agar tidak terjadi hal-hal berikutnya yang lebih membahayakan.
Jika bagi orang dewasa, barangkali rasa bosan sudah bisa disikapi dengan bijak, lantas bagaimana dengan anak? Tentu ini harus menjadi perhatian besar bagi para orangtua. Ketika anak sudah merasa bosan dengan diikuti aktivitas-aktivitas yang tidak sewajarnya, maka segera lakukan tindakan, jangan dibiarkan.
Menurut Goldberd, Eastwood,Laurdia & Danckert (2011), "kebosanan merupakan masalah biasa dan wajar dialami oleh setiap individu namun dapat menyebabkan depresi jika dibiarkan berlarut-larut".
Jelas, dari sini kita bisa memahami bahwa rasa bosan merupakan masalah psikologis yang apabila dibiarkan bisa menyebabkan depresi atau gangguan mental lainnya.
Lalu, bagaimana orangtua harus bersikap jika mendapati anak yang sedang merasa bosan?
Pertama, telaah terlebih dahulu rasa bosan sang anak. Meski harus diwaspadai, tapi ingat bahwa rasa bosan adalah hal yang wajar dan bisa dialami oleh siapa saja.
Kedua, hindari panik yang berlebihan. Tetap tenang meski ada rasa khawatir. Sikap yang tenang akan membantu mengkondusifkan keadaan.
Ketiga, stop menjustifikasi anak. Hindari kata-kata yang cenderung menyudutkan atau menyalahkan anak secara sepihak. Pahami bahwa setiap yang terjadi pada anak memiliki keterkaitan erat dengan pola asuh kita sebagai orangtua.
Keempat, lakukan tindakan jika memang anak sudah menunjukkan gejala yang tidak wajar, misalnya merusak, menyakiti diri sendiri maupun orang lain, berkata kasar, menyendiri dan bersedih terus menerus, dll.
Orangtua bisa melakukan tindakan yang bijak seperti merangkul hangat anak, mengajaknya berbicara dari hati ke hati, mengajak anak healing bersama, membersamai anak dalam hal beribadah, dll.
Kelima, jangan ragu minta pertolongan ahli. Jika orangtua merasa tidak mampu mengatasi sendiri, sebaiknya memang segera menghubungi ahli, psikolog misalnya.
Tidak perlu ragu dan malu, sebab ini adalah langkah yang tepat untuk mengantisipasi hal-hal buruk lainnya.
Nah, itulah kelima cara bagaimana menyikapi anak yang sedang merasa bosan dan dapat dilakukan oleh orangtua kepada anak.
Kepedulian dan kewaspadaan orangtua terhadap anak memang harus lebih ditingkatkan, mengingat saat ini kita sedang berada di zaman yang serba modern dan canggih, dimana anak dihadapkan pada permasalahan hidup yang lebih kompleks dari kehidupan di zaman dahulu.
Tapi ingat, waspada bukan berarti panik. Jadilah orangtua yang bisa mengikuti perkembangan zaman, agar bisa melakukan kontrol terhadap tumbuh kembang anak dengan lebih baik.
Sadari bahwa meluangkan waktu yang berkualitas untuk membersamai anak sangat diperlukan, teritama di zaman ini.
Jangan biarkan anak berproses tumbuh kembang sendiri sehingga ia merasa bosan dan kekurangan kasih sayang dari orangtua lalu menjadi stress dan depresi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H