Teman saya pun menginterogasi sang anak yang berusia 13 tahun, perihal kenapa tembok pagar bisa jebol dan siapa yang melakukannya.
Sang anak dengan mimik takut menjawab "aku ma...". Teman saya bertanya apa alasan sang anak melakukan hal tersebut, dan dijawab dengan singkat "bosan ma..."
Tentu saja teman saya terkejut dengan jawaban sang anak yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Ia pun berusaha untuk menginstropeksi diri atas pengasuhan yang selama ini dilakukan bersama anak.
Teman saya menyadari, sebagai orangtua tunggal pasca berpisah dengan suami, membuatnya harus ekstra sibuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga banyak waktu yang hilang bersama anak.
Mungkin, bagi beberapa orang, hal ini biasa saja, tapi sebenarnya dari sinilah awal kesehatan anak mulai terganggu. Orangtua yang aware akan bisa memahami bahwa ini tidak boleh dibiarkan. Artinya, harus segera ditangani agar tidak terjadi hal-hal berikutnya yang lebih membahayakan.
Jika bagi orang dewasa, barangkali rasa bosan sudah bisa disikapi dengan bijak, lantas bagaimana dengan anak? Tentu ini harus menjadi perhatian besar bagi para orangtua. Ketika anak sudah merasa bosan dengan diikuti aktivitas-aktivitas yang tidak sewajarnya, maka segera lakukan tindakan, jangan dibiarkan.
Menurut Goldberd, Eastwood,Laurdia & Danckert (2011), "kebosanan merupakan masalah biasa dan wajar dialami oleh setiap individu namun dapat menyebabkan depresi jika dibiarkan berlarut-larut".
Jelas, dari sini kita bisa memahami bahwa rasa bosan merupakan masalah psikologis yang apabila dibiarkan bisa menyebabkan depresi atau gangguan mental lainnya.
Lalu, bagaimana orangtua harus bersikap jika mendapati anak yang sedang merasa bosan?
Pertama, telaah terlebih dahulu rasa bosan sang anak. Meski harus diwaspadai, tapi ingat bahwa rasa bosan adalah hal yang wajar dan bisa dialami oleh siapa saja.
Kedua, hindari panik yang berlebihan. Tetap tenang meski ada rasa khawatir. Sikap yang tenang akan membantu mengkondusifkan keadaan.