Beberapa waktu belakangan ini sering kita mendengar istilah orangtua helikopter atau helicopter parenting, yaitu pola asuh hiperprotektif yang dilakukan orangtua terhadap anak. Orangtua terlampau khawatir dan takut berlebihan sehingga merasa harus terlibat penuh dalam kehidupan sang anak.
Orangtua helikopter cenderung terlalu turut campur dalam kehidupan anak sehingga berkesan mengatur dan mengendalikan sang anak, bahkan dalam hal yang sekecil apapun, mereka merasa harus terlibat penuh.
Keadaan ini tentu saja membuat anak merasa tidak memiliki ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Bahkan, dalam jangka panjang, anak akan berpotensi besar tumbuh menjadi pribadi yang mengalami kesulitan dalam menjalin komunikasi dengan lingkungan sekitarnya.
Bukan hanya pendiam atau tertutup, tapi lebih ke apatis terhadap sekitarnya, sebab anak merasa bahwa kehidupannya sudah diatur dan dikendalikan orangtua, sehingga ia tidak memerlukan orang lain dalam kehidupannya selain orangtua.
Atau sebaliknya, anak yang memiliki karakter pemberontak, ia akan tumbuh menjadi anak yang mudah melawan dan menjadi antisosial terhadap lingkungan di sekitarnya. Trauma terhadap pola hiperprotektif orangtua akan membuat anak menjadi pribadi yang kerap abai terhadap aturan dan nilai yang menurutnya bisa mengikat dan mengatur hidupnya.
Protektif Boleh, Tapi Tak Harus Menjadi Orangtua Helikopter
Beberapa pakar psikologi, seperti diterangkan pada laman website Kementerian Kesehatan RI, menyarankan agar pola asuh orangtua helikopter ini sebaiknya tidak diterapkan pada anak, sebab dapat menghambat perkembangan kognitif mereka, seperti kehilangan rasa percaya diri, kesulitan memecahkan masalah serta ketidakmampuan mengambil keputusan.
Sikap protektif memang hal yang wajar dimiliki oleh orangtua, sebab bagaimanapun sejatinya orangtua menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya. Rasa khawatir kerap dirasakan orangtua terhadap sang anak, sehingga orangtua merasa perlu untuk bersikap protektif sebagai upaya perlindungan terhadap anak.
Namun, harus juga dipahami orangtua bahwa anak adalah pribadi yang berdiri sendiri. Mereka bukan bayangan orangtua yang harus terus mengikuti kemauan orangtua. Anak punya pilihan sendiri yang tidak harus sama dengan pilihan orangtua.
Terkadang, orangtua memiliki ekspektasi yang berlebih terhadap anak, yang mengakibatkan anak mengalami stress karena harus mewujudkan ekspektasi orangtua, misalnya harus juara kelas, harus menang lomba, harus berprestasi, harus bisa berjalan dengan cepat, harus segera bisa bicara lancar, dll.
Padahal, setiap anak adalah berbeda. Mereka tidak ada yang sama dalam segala hal. Mereka punya kapasitas diri masing-masing yang tidak bisa dipukul rata. Misalnya, si A bisa berjalan usia 10 bulan maka anak saya harus bisa berjalan usia 10 bulan, atau si B juara kelas, maka anak saya juga harus juara kelas, dll.
Akibat kekhawatiran yang berlebih, terutama jika anak tidak bisa memenuhi ekspektasi orangtua, maka orangtua berupaya melakukan pelbagai cara, salah satunya dengan turut campur dan mengatur seluruh aktivitas anak tanpa memperdulikan kondisi psikologis anak.
Menurut Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Ade Dian Komala, M.Psi pada laman website Kementerian Kesehatan RI, dari sekian banyak pola asuh yang paling baik dan sesuai standar pola asuh di Indonesia adalah otoritatif, yaitu pola asuh yang memiliki konsep suportif dan komunikatif antara orangtua dan anak.
Pola asuh otoritatif mengedepankan prinsip mendukung anak di setiap fase tumbuh kembangnya dengan memaksimalkan komunikasi diantara keduanya. Komunikasi dilakukan dua arah, sehingga baik orangtua maupun anak memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan keinginannya.
Tidak ada yang merasa superior, sehingga orangtua dan anak bisa menjadi support system, terutama dalam melewati fase tumbuh kembang sang anak. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri, mandiri, mampu memecahkan masalah serta terampil dalam mengambil keputusan.
Lantas, bagaimana cara agar para orangtua tetap bisa protektif namun tidak terjebak dalam pola asuh orangtua helikopter ? berikut beberapa cara yang bisa diterapkan secara mudah dan sederhana :
Pertama, jadilah pendengar yang baik. Jika selama ini orangtua identik dengan pemberi nasihat, maka cobalah sesekali untuk menjadi pendengar yang baik bagi anak. Dengarkan apa saja yang disampaikan anak, tanpa menyela apalagi mematahkan pendapat anak. Cukup dengarkan, pahami dan berikan masukan jika memang dibutuhkan.
Kedua, beri ruang privacy untuk anak. Bukan hanya orang dewasa yang membutuhkan ruang privacy, anak juga demikian. Mereka juga butuh diberikan ruang untuk hal-hal yang tidak perlu orangtua atau orang lain mencampurinya terlalu dalam, misalnya membiarkan anak membaca tanpa diganggu, memberi kesempatan anak untuk berkomunikasi dengan teman terdekatnya, menyediakan kamar tidur yang nyaman untuknya, dll.
Ketiga, libatkan anak di beberapa pengambilan keputusan. Untuk menjadi orangtua yang bijak tentu tidak boleh egois dalam mengambil keputusan. Usahakan untuk melibatkan anak dalam pengambilan keputusan. Tidak harus semua keputusan, namun pasti ada beberapa yang memang sebaiknya melibatkan anak, misalnya pemilihan sekolah, penentuan destinasi liburan, dekorasi kamar anak, dll.
Hal ini agar anak merasa bahwa keberadaannya dianggap ada dan pendapatnya didengar. Secara tidak langsung, anak juga akan belajar bagaimana menyampaikan pendapat, menghargai perbedaan pendapat serta bagaimana mampu mengambil keputusan.
Keempat, beri kepercayaan pada anak. Biarkan anak untuk menghadapi dan memecahkan masalahnya sendiri. Bangkitkan rasa percaya dirinya bahwa ia mampu menghadapi masalahnya. Bukan berarti orangtua meninggalkan anak dengan masalahnya, tapi dukung ia dari belakang dan biarkan anak mandiri dan belajar bertanggungjawab menyelesaikan masalahnya sendiri.
Kelima, Beri penghargaan. Jangan pelit memberi anak pujian atau hanya sekadar pelukan hangat. Apalagi jika ia berhasil menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri, maka jangan segan untuk memujinya. Memberi penghargaan kepada anak akan membuatnya lebih bisa menghargai dan mencintai diri sendiri.
Nah, itulah tadi kelima cara sederhana agar orangtua tetap bisa protektif kepada anak tanpa takut terjebak menjadi orangtua helikopter. Biarkan anak memahami arti kegagalan dan keberhasilan serta bagaimana bisa bangkit saat gagal dan tidak tinggi hati saat berhasil.
Stop terlalu mencampuri segala urusan anak. Beri anak ruang untuk tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun psikis serta menjadi dirinya sendiri. Tetaplah protektif namun sebatas memantau, member masukan dan pertolongan jika sang anak memang membutuhkan. Selebihnya, biarkan anak belajar untuk mandiri, lebih percaya diri dan berani menghadapi tantangan di setiap fase kehidupannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H