Padahal, setiap anak adalah berbeda. Mereka tidak ada yang sama dalam segala hal. Mereka punya kapasitas diri masing-masing yang tidak bisa dipukul rata. Misalnya, si A bisa berjalan usia 10 bulan maka anak saya harus bisa berjalan usia 10 bulan, atau si B juara kelas, maka anak saya juga harus juara kelas, dll.
Akibat kekhawatiran yang berlebih, terutama jika anak tidak bisa memenuhi ekspektasi orangtua, maka orangtua berupaya melakukan pelbagai cara, salah satunya dengan turut campur dan mengatur seluruh aktivitas anak tanpa memperdulikan kondisi psikologis anak.
Menurut Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Ade Dian Komala, M.Psi pada laman website Kementerian Kesehatan RI, dari sekian banyak pola asuh yang paling baik dan sesuai standar pola asuh di Indonesia adalah otoritatif, yaitu pola asuh yang memiliki konsep suportif dan komunikatif antara orangtua dan anak.
Pola asuh otoritatif mengedepankan prinsip mendukung anak di setiap fase tumbuh kembangnya dengan memaksimalkan komunikasi diantara keduanya. Komunikasi dilakukan dua arah, sehingga baik orangtua maupun anak memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan keinginannya.
Tidak ada yang merasa superior, sehingga orangtua dan anak bisa menjadi support system, terutama dalam melewati fase tumbuh kembang sang anak. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri, mandiri, mampu memecahkan masalah serta terampil dalam mengambil keputusan.
Lantas, bagaimana cara agar para orangtua tetap bisa protektif namun tidak terjebak dalam pola asuh orangtua helikopter ? berikut beberapa cara yang bisa diterapkan secara mudah dan sederhana :
Pertama, jadilah pendengar yang baik. Jika selama ini orangtua identik dengan pemberi nasihat, maka cobalah sesekali untuk menjadi pendengar yang baik bagi anak. Dengarkan apa saja yang disampaikan anak, tanpa menyela apalagi mematahkan pendapat anak. Cukup dengarkan, pahami dan berikan masukan jika memang dibutuhkan.
Kedua, beri ruang privacy untuk anak. Bukan hanya orang dewasa yang membutuhkan ruang privacy, anak juga demikian. Mereka juga butuh diberikan ruang untuk hal-hal yang tidak perlu orangtua atau orang lain mencampurinya terlalu dalam, misalnya membiarkan anak membaca tanpa diganggu, memberi kesempatan anak untuk berkomunikasi dengan teman terdekatnya, menyediakan kamar tidur yang nyaman untuknya, dll.
Ketiga, libatkan anak di beberapa pengambilan keputusan. Untuk menjadi orangtua yang bijak tentu tidak boleh egois dalam mengambil keputusan. Usahakan untuk melibatkan anak dalam pengambilan keputusan. Tidak harus semua keputusan, namun pasti ada beberapa yang memang sebaiknya melibatkan anak, misalnya pemilihan sekolah, penentuan destinasi liburan, dekorasi kamar anak, dll.
Hal ini agar anak merasa bahwa keberadaannya dianggap ada dan pendapatnya didengar. Secara tidak langsung, anak juga akan belajar bagaimana menyampaikan pendapat, menghargai perbedaan pendapat serta bagaimana mampu mengambil keputusan.
Keempat, beri kepercayaan pada anak. Biarkan anak untuk menghadapi dan memecahkan masalahnya sendiri. Bangkitkan rasa percaya dirinya bahwa ia mampu menghadapi masalahnya. Bukan berarti orangtua meninggalkan anak dengan masalahnya, tapi dukung ia dari belakang dan biarkan anak mandiri dan belajar bertanggungjawab menyelesaikan masalahnya sendiri.