Mengapa sampah yang berasal dari sisa makanan masih dianggap sepele?Â
Ada yang mengatakan karena sampah sisa makanan tergolong sampah organik yang dapat terurai oleh mikroorganisme, tidak seperti plastik yang tidak akan terurai hingga ribuan tahun lamanya, sehingga dampak buruk jangka panjangnya tidak se-mengerikan sampah plastik.
Padahal, kalau kita mundur ke belakang, masih teringat jelas peristiwa Leuwigajah di tahun 2005 lalu yang telah menelan korban jiwa hingga ratusan orang.Â
Peristiwa pilu itu terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, dimana terjadi ledakan dahsyat dari gunungan sampah yang ada. Ledakan itu terjadi akibat kontaminasi gas metana yang bersumber dari sampah sisa makanan. Bukan hanya ledakan, kontaminasi gas metana juga menyebabkan longsor sampah dan menimbun hingga 2 desa di daerah tersebut.
Insiden Leuwigajah menjadi gambaran nyata kepada kita semua bahwa sampah sisa makanan tidak bisa dianggap remeh. Apalagi, data menunjukkan bahwa sampah sisa makanan mendominasi dari jenis sampah lainnya. Jangan sampai kelalaian kita menyebabkan terjadinya peristiwa Leuwigajah-Leuwigajah yang lain.
Bukan hanya menyebabkan bencana, sampah sisa makanan juga menjadi sumber utama polusi udara. Bau sampah yang menyengat tentu akan mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari dan mengurangi keindahan tata kota yang ada.
Sampah sisa makanan yang membusuk akan mengeluarkan karbondioksida dan emisi metana yang menyebabkan terjadinya efek gas rumah kaca dan berimbas pada pemanasan global seperti yang sudah kita rasakan gejala-gejalanya saat ini.
Gagasan Apa yang bisa Disumbangkan untuk Membantu Mengurangi Sampah Sisa Makanan?
Menurut ulasan di VOA Indonesia, sejak tahun 2022, di California sudah mulai serius dalam menangani masalah sampah sisa makanan melalui program daur ulang sisa makanan.Â
Tujuannya agar sampah sisa makanan tidak membusuk dan menjadi emisi gas rumah kaca begitu saja, tetapi dapat diubah menjadi sumber energi dan kompos.