"Setiap anak ingin keluarga yang sempurna, tapi tidak semua anak memilikinya..." --- anonim
Kita semua sepakat, definisi keluarga sempurna adalah keberadaan orangtua dan anak-anak yang lengkap dan utuh, rumah yang nyaman, segala kebutuhan tercukupi dan kehangatan kasih sayang yang melimpah. Dengan begitu, besar harapan hubungan orangtua akan selalu harmonis dan anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Namun, terkadang kenyataan tidaklah seindah ekspektasi. Faktanya, masih banyak anak-anak yang tidak memiliki keluarga sempurna. Salah satunya adalah anak-anak yang berlatarbelakang keluarga broken home.Â
Anak-anak itu harus menerima kenyataan, bahwa kedua orangtuanya telah bercerai. Konsekuensinya, mereka akan kehilangan harapan memiliki keluarga yang sempurna.
Data Badan Pusat Statistika (BPS) menunjukkan bahwa di tahun 2021 angka perceraian di Indonesia mencapai 441.743 kasus dan mengalami tren naik dibanding tahun 2020 yang berada di angka 291.677.
Tentu saja sangat beragam faktor penyebabnya, diantaranya faktor ekonomi, perselingkuhan, ketidakcocokan, stress hingga faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Apalagi sejak tahun 2019 kita tengah dilanda situasi pandemi Covid 19 yang sangat berdampak pada kondisi kehidupan masyarakat. Situasi yang serba sulit ditengarai menjadi salah satu faktor utama terus meningkatnya angka perceraian.
Lantas, apa yang harus dikhawatirkan terhadap anak-anak yang orangtuanya bercerai?
Sebuah studi menyebutkan bahwa kondisi rumah tangga yang broken dapat menyebabkan anak-anak mengalami depresi mental (tekanan mental), sehingga tidak jarang anak-anak dengan kondisi broken home cenderung memiliki perilaku yang buruk (Aziz, 2019).
Seperti diketahui, anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan hidupnya, seperti sekolah, bermain, sandang, pangan maupun papan. Namun, dengan keadaan keluarga yang tidak utuh dan bermasalah, anak-anak akan kehilangan hak-haknya.
Mereka harus menelan pil pahit bahwa kedua orangtuanya sudah tidak bersama lagi. Ini artinya, pemenuhan kebutuhan mereka sebagai anak juga akan memiliki hambatan, seperti kurangnya perhatian, tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari hingga ketidakpedulian orangtua akan masa depan mereka.
Tentu saja ini akan memengaruhi kesehatan mental mereka. Anak-anak demikian akan sangat tertekan, stres, depresi hingga menyebabkan penyimpangan-penyimpangan perilaku, seperti kenakalan remaja, narkoba, masalah kejiwaan, dll.
Gangguan mental (mental illness) merupakan kondisi mental yang terganggu seperti anxiety disorder, depresi, OCD, PTSD, dll. Kondisi ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari bagi penderitanya.
Gangguan mental dapat terjadi pada siapa saja dengan beragam penyebab, di antaranya faktor genetik, biologis (ketidakseimbangan zat kimia di otak), pola asuh orangtua di masa kecil, trauma di masa lalu atau dapat juga terjadi karena faktor sosial/lingkungan lainnya (Susanti, Endah: 2022)
Khusus pada kasus anak yang orangtuanya bercerai, kemungkinan untuk mengalami gangguan mental sangatlah besar. Sehingga untuk anak-anak yang orangtuanya bercerai, memang sejatinya harus mendapatkan perhatian dan pendampingan yang lebih, baik dari orangtua, keluarga dekat, teman, lingkungan sekitar hingga jika memungkinkan dapat melibatkan tenaga ahli seperti psikolog, psikiater atau relawan dan pekerja sosial.
Bagaimana healing yang efektif untuk anak-anak yang orangtuanya bercerai?
Tidak dapat dimungkiri, peran utama dalam proses penyembuhan para penyandang gangguan mental adalah keluarga.Â
Keluarga yang hadir di saat anak mengalami masalah mental dapat memberi energi dan sugesti bagi sang anak agar mau dan mampu keluar dari situasi yang tidak menyenangkan.
Anak-anak yang demikian sangat membutuhkan perhatian dan kehangatan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Mereka menginginkan rasa nyaman dan dukungan positif dalam menghadapi permasalahan tanpa kehilangan rasa percaya dirinya. Keluarga yang senantiasa hadir tanpa tudingan negatif akan membangkitkan rasa aman pada diri mereka.
Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam menghadapi anak-anak yang orangtuanya bercerai:
Pertama, stop segala bentuk pelabelan pada diri mereka, seperti "anak korban perceraian", "anak miskin", "anak bodoh", "anak kurang kasih sayang", "anak broken home", dll.
Kedua, rangkul dan terima mereka dengan tulus agar mereka merasa bahwa keberadaannya adalah suatu hal yang membahagiakan.
Ketiga, libatkan mereka secara aktif dalam segala kegiatan yang manfaat untuk membentuk rasa percaya diri mereka.
Keempat, ajarkan mereka untuk self healing dengan selalu bersyukur atas segala karunia yang Tuhan berikan. Self healing ini penting agar mereka mampu menerima segala luka hati dan memaafkan atas segala kesalahan diri maupun orang lain.
Kelima, tetap tunjukkan kasih sayang dan perhatian kepada mereka, terutama orangtua dan keluarga terdekat.
Demikianlah pentingnya keluarga dalam menjaga kesehatan mental anak-anak. Anak-anak yang sehat mentalnya akan lebih siap dalam menghadapi segala bentuk tantangan kehidupan.Â
Perceraian adalah pilihan keputusan, namun tetap menjalankan peran sebagai orangtua adalah suatu kewajiban. Dan yang terpenting, anak berlatar belakang broken home juga berhak sehat mental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H