Tentu saja ini akan memengaruhi kesehatan mental mereka. Anak-anak demikian akan sangat tertekan, stres, depresi hingga menyebabkan penyimpangan-penyimpangan perilaku, seperti kenakalan remaja, narkoba, masalah kejiwaan, dll.
Gangguan mental (mental illness) merupakan kondisi mental yang terganggu seperti anxiety disorder, depresi, OCD, PTSD, dll. Kondisi ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari bagi penderitanya.
Gangguan mental dapat terjadi pada siapa saja dengan beragam penyebab, di antaranya faktor genetik, biologis (ketidakseimbangan zat kimia di otak), pola asuh orangtua di masa kecil, trauma di masa lalu atau dapat juga terjadi karena faktor sosial/lingkungan lainnya (Susanti, Endah: 2022)
Khusus pada kasus anak yang orangtuanya bercerai, kemungkinan untuk mengalami gangguan mental sangatlah besar. Sehingga untuk anak-anak yang orangtuanya bercerai, memang sejatinya harus mendapatkan perhatian dan pendampingan yang lebih, baik dari orangtua, keluarga dekat, teman, lingkungan sekitar hingga jika memungkinkan dapat melibatkan tenaga ahli seperti psikolog, psikiater atau relawan dan pekerja sosial.
Bagaimana healing yang efektif untuk anak-anak yang orangtuanya bercerai?
Tidak dapat dimungkiri, peran utama dalam proses penyembuhan para penyandang gangguan mental adalah keluarga.Â
Keluarga yang hadir di saat anak mengalami masalah mental dapat memberi energi dan sugesti bagi sang anak agar mau dan mampu keluar dari situasi yang tidak menyenangkan.
Anak-anak yang demikian sangat membutuhkan perhatian dan kehangatan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Mereka menginginkan rasa nyaman dan dukungan positif dalam menghadapi permasalahan tanpa kehilangan rasa percaya dirinya. Keluarga yang senantiasa hadir tanpa tudingan negatif akan membangkitkan rasa aman pada diri mereka.
Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam menghadapi anak-anak yang orangtuanya bercerai:
Pertama, stop segala bentuk pelabelan pada diri mereka, seperti "anak korban perceraian", "anak miskin", "anak bodoh", "anak kurang kasih sayang", "anak broken home", dll.