Dari hasil laporan kepolisian, Ani mengaku kerap mendapat penganiayaan oleh majikannya. Sedikit saja Ani membuat kesalahan, maka kekerasan pun akan diterimanya.Â
Mulai dari pemukulan oleh benda-benda di rumah seperti sapu, selang air, besi alat pel, sikat lantai, penyiraman air panas, setrika, dll hingga menimbulkan luka yang berdarah-darah.
Bukan hanya itu, Ani juga disekap tidak boleh keluar rumah oleh sang majikan. Dan itu sudah berlangsung selama kurang lebih 6 tahun lamanya.Â
Warga yang sempat curiga karena sering mendengar rintihan dan teriakan minta tolong berusaha mendatangi rumah tersebut, namun selalu dihalangi dan dibantah oleh sang majikan bahwa keadaan rumahnya baik-baik saja.
Kasus kekerasan terhadap PRT sebenarnya bukan hanya terjadi pada Ani. Masih banyak kisah-kisah pilu "Ani-Ani" yang lain, yang barangkali tidak termuat ke media.Â
Kisah menyedihkan Ani sungguh menjadi tamparan keras kepada kita semua, bahwa sampai saat ini PRT masih kerap mendapat perlakuan yang diskriminatif serta semena-mena oleh majikannya. Perlakuan tersebut mengarah ke kekerasan, baik fisik maupun verbal melalui perkataan-perkataan yang buruk, merendahkan dan menyakitkan.
Dari kasus Ani, kita dapat menelaah bahwa sosok PRT seringkali dianggap rendah dan lemah oleh majikannya. Apalagi jika PRT perempuan, maka kekerasan cenderung lebih mudah terjadi karena mereka dianggap tidak berdaya untuk melawan. Berbeda dengan PRT laki-laki yang lebih punya kekuatan dan kemampuan untuk melawan secara fisik.
Padahal, data ILO menyebutkan Pekerja Rumah Tangga di Asia Pasifik 78% adalah perempuan. Ini artinya, kekerasan terhadap PRT akan lebih mudah terjadi karena lebih dari separuh PRT adalah perempuan. Miris bukan ?
Stop Pelabelan dan Stereotip terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT)
Tidak dapat dimungkiri, profesi PRT masih mengalami stereotip hingga kini. Meski, secara bahasa PRT bukan Pembantu Rumah Tangga lagi melainkan diubah menjadi Pekerja Rumah Tangga yang mengisyaratkan adanya perubahan cara pandang kita terhadap profesi tersebut ke arah yang lebih baik.
Namun, meski demikian, faktanya stereotip itu masih juga berlangsung. Sering kita mendengar label-label yang kurang mengenakkan yang ditujukan kepada mereka, seperti "bodoh", "ndeso", "norak", "dekil", "kampungan", "miskin", "tidak berpendidikan", dll. Pelabelan bermakna konotasi ini tentu saja menjadi salah satu bagian dari kekerasan dan pelecehan terhadap para PRT.