Sebenarnya, masalah terbesar bukan pada program WFH-nya. Melainkan pada budaya ASN dan masyarakat, apakah sudah "melek" teknologi atau belum.Â
Jika ASN dan masyarakat sudah "melek" teknologi, maka WFH bukan lagi menjadi isu yang mengkhawatirkan, terutama dalam pelaksanaan pelayanan publik.
Namun, faktanya budaya kita masih belum cukup untuk dikatakan "melek" teknologi. Masih banyak ASN dan masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan teknologi dengan baik dan benar.Â
Penyebabnya beragam, bisa dikarenakan usia yang tua sehingga tidak memahami teknologi baru, ketidaksiapan dalam menerima era digital sehingga melahirkan culture shock, kurangnya pengetahuan tentang pemanfaatan teknologi atau ketidakmampuan secara ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan teknologi itu sendiri (misalnya tidak mampu membeli handphone, pulsa atau paket data internet, dll)
Inilah yang menyebabkan kehadiran WFH seperti momok yang mengkhawatirkan bagi kebanyakan masyarakat. Kekhawatiran tidak mendapat pelayanan yang prima adalah hal yang paling ditakutkan oleh masyarakat. Padahal, jika mereka "melek" teknologi, maka kondisi WFH akan terasa biasa saja seiring dengan kebiasaan mereka dalam menggunakan fasilitas aplikasi yang telah tersedia.
Saya rasa ini belum seberapa. Suatu saat nanti, kita akan dihadapkan pada zaman yang serba mesin dan robot. Tenaga manusia sudah digantikan secara penuh dengan mesin dan robot. Bakal tidak ada lagi yang namanya memperkerjakan manusia dalam setiap aktivitas kehidupan. Manusia hanya diposisikan sebagai objek kerja mesin dan robot.Â
Jika manusia tidak siap menghadapi era ini, maka bukan tidak mungkin manusia akan tergerus oleh zaman. Bukan manusia yang mengendalikan teknologi tapi sebaliknya teknologi yang akan mengendalikan manusia. Sungguh ironis, bukan?
Oleh sebab itu, mau tidak mau, suka tidak suka, kita memang harus sudah mulai "melek" teknologi. Siapapun dan bagaimanapun kita, harus diupayakan agar kebutuhan teknologi dapat terpenuhi agar hidup dapat berjalan dengan lebih seimbang.Â
Agar tidak ada lagi "culture shock" dari budaya manual ke budaya digital. Kesiapan mental ini dapat ditunjukkan dengan sikap terpuji kita dalam menggunakan internet, tidak mudah termakan hoaks, bijak dalam bermedia sosial, waspada terhadap cyber crime serta senantiasa menggunakan teknologi digital sesuai dengan peruntukannya.
Nah, mumpung ada wacana WFH bagi ASN setelah libur panjang lebaran (atau mungkin sudah ada yang melaksanakannya), sebaiknya coba kita renungkan di balik makna WFH itu sendiri agar kita tidak salah memaknai WFH sehingga terkesan menjadi momok yang menakutkan, terutama bagi masyarakat yang hendak melakukan aktivitas layanan publik.
Pertama, WFH bukan "tidak bekerja" melainkan melakukan kontrol kerja di luar kantor (rumah). Jadi ASN tetap bekerja, hanya saja tidak di kantor. Komunikasi, laporan dan kontrol kerja tetap dapat berjalan seperti biasa.